*** A G N U S - D E I ***
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 19 Februari 2011

KARISMATIK KATOLIK

Karismatik Katolik 
       untuk kembali kepada pentakosta pada mulanya berasal dari seorang biarawati Katolik, Sr Elena Guerra, pendiri kongrerasi suster-suster Oblat Roh Kudus di Lucca, Italia. Suster ini menulis surat kepada Paus Leo XIII untuk membimbing gereja Katolik kepada pengalaman para murid Yesus pada saat Pentakosta yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul. Menurut Sr Elena, pentakosta akan terjadi setiap saat karena Roh Kudus ingin bersemayam di hati semua orang yang percaya dan mau menerima-Nya sehingga mereka dapat memperoleh karunia Roh Kudus seperti berkata-kata dengan hikmat, berbahasa roh, menafsirkan bahasa roh, membuat mukjizat, bernubuat, menyembuhkan dan seterusnya. Paus Leo XIII menanggapinya dengan mengeluarkan ensiklik Divinum Illud Munus pada tanggal 9 Mei 1897 yang bunyinya a.l. "Semua orang Kristiani harus mengenal, mencintai dan memohon kepada Roh Kudus. Setiap orang yang menjadi pengkhotbah dan peduli kepada jiwa-jiwa yang perlu diselamatkan harus lebih rajin dan lebih utuh mengajarkan umatnya tentang Roh Kudus." Namun demikian, tanggapan gereja Katolik terhadap ensiklik ini kelihatannya dihantui oleh kenangan buruk Montanisme. Montanus yang hidup pada tahun 170-an di wilayah Phrygia (Turki) memiliki keyakinan bahwa dirinya merupakan jurubicara Roh Kudus (mungkin Montanus di zaman dahulu bisa disamakan dengan Lia Eden di zaman sekarang yang juga mengaku mendapat wahyu dari rohul kudus/malaikat Jibril). 
         Montanus sering bernubuat dalam keadaan kehilangan kesadaran (trance). Karena nubuatnya kadang-kadang bertentangan dengan ajaran gereja Katolik, akhirnya Montanus diekskomunikasi dan dinyatakan sesat. Karena itulah, ketika ensiklik Paus Leo XIII dikeluarkan pada tahun 1897, Kristen Katolik tidak meresponsnya. Sebaliknya Kristen Reformasi merespons ensiklik tersebut melalui pengalaman Pentakosta oleh Charles Fox Parham di Topeka, Texas. Kemudian, salah satu murid Farham, William Joseph Seymour, mengembangkan gerakan pentakosta di Los Angeles yang dengan cepat meluas ke seluruh dunia sehingga terbentuklah gereja Kristen yang bercirikan Karunia Roh Kudus seperti Gereja Pentakosta, Bethel, Bethany dll. Selanjutnya baru pada tanggal 18 Februari 1967 terbentuk gerakan Karismatik Katolik yang dimulai dari peristiwa akhir pekan di Duquesne, Pittsburgh, A.S. Jadi, terdapat selang waktu 70 tahun antara ajakan kembali kepada Pentakosta yang disuarakan oleh Paus Leo XIII dan pembentukan Karismatik Katolik yang dimulai di Duquesne.     
        Peristiwa retret pada akhir pekan yang penuh dengan Karisma Roh Kudus itu dialami oleh para mahasiswa Katolik di Universitas Duquesne yang mengikuti retret tersebut (kisah selengkapnya ditulis oleh Kevin Ranaghan dan Dorothy Ranaghan dalam buku Catholic Pentacostals). Dalam retret akhir pekan tersebut terjadilah kisah menarik seperti berikut ini yang saya kutip dari buku Dhesi Ramadhani, SJ: Sepanjang hari Sabtu itu seluruh kelompok bertemu untuk pendalaman bahan dan berdoa. Sabtu malam akan disediakan untuk sedikit relaksasi. Sebenarnya direncanakan untuk membuat pesta ulang tahun istimewa bagi salah satu dari para imam yang hadir dalam retret itu. Sebagaimana dikisahkan oleh seorang mahasiswi, "Kami sudah lelah berdoa, dan kami tidak akan menghabiskan malam itu untuk berdoa lagi." Paul Grey dan Maryanne Springle yang ketika itu sudah bertunangan telah mendengar tentang "Baptisan Roh Kudus" dan mereka berdua mendambakannya. Maka mereka mendekati Ralph Keifer, pimpinan kelompok dosen di Universitas Duquesne, dan meminta kepadanya untuk mendoakan mereka supaya Roh Kudus bekerja aktif sepenuhnya dalam kehidupan mereka. Diam-diam mereka pergi ke lantai atas terpisah dari kelompok, dan di sana mereka dijamah secara mendalam oleh Roh Kudus. Roh itu segera memperlihatkan diri dalam rupa karunia bahasa Roh yang mereka gunakan untuk memuji Allah. Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk kembali ke kelompok di lantai bawah tanpa menceritakan apa yang terjadi atas diri mereka. Pada malam yang sama, salah seorang mahasiswi Universitas Duquesne, Patti Galagher, tergerak untuk pergi ke kapel. Dan di kapel, ia merasakan kehadiran Roh Kudus dengan sangat kuat. Dalam ketakjubannya, ia meninggalkan kapel dan mengajak semua mahasiswa lain di dalam gedung tersebut untuk bergabung dengannya di kapel. Satu demi satu mereka menuju ke kapel. Ketika mereka berkumpul untuk berdoa di sana, Roh Kudus mencurahkan diri-Nya atas mereka. Tidak ada paksaan, tidak ada petunjuk tentang apa yang harus dilakukan. 
          Masing-masing berjumpa dengan pribadi Roh Kudus begitu saja. Ada yang memuji Allah dalam bahasa-bahasa baru, ada yang secara tenang menangis karena sukacita, ada yang berdoa dan bernyanyi. Mereka berdoa sejak jam sepuluh malam hingga lima pagi berikutnya. Tidak setiap orang segera dijamah seketika itu juga, tetapi sepanjang malam itu Allah mendekati tiap orang di sana secara menakjubkan. (Kisah ini ditulis dalam buku Ranaghan and Ranaghan, Catholic Pentacostals, hal. 21-22). Selanjutnya Patti Galagher menuliskan pengalamannya: Saya tidak punya maksud untuk berdoa ketika pergi ke kapel, tetapi hanya ingin mengingatkan para mahasiswa agar mereka turun untuk pesta ulang tahun tersebut. Tetapi ketika saya masuk ke dalam hadirat Yesus di dalam Sakramen Mahakudus dan berlutut di sana, saya dipenuhi oleh rasa takjub. Karena karunia iman, saya selalu percaya bahwa Yesus benar-benar hadir secara nyata dalam Sakramen Mahakudus tetapi belum pernah mengalami kemuliaannya. Ketika saya berlutut, tubuh saya benar-benar gemetar di hadapan keagungan-Nya. Saya sungguh merasa takut dan berkata kepada diri sendiri, "Cepat keluar dari sini karena sesuatu akan terjadi kalau saya tetap berada dalam kehadiran Allah." Ketika berlutut di hadapan Tuhan, untuk pertama kalinya dalam hidup saya mendoakan sebuah doa penyerahan penuh. Saya berkata, "Bapa saya memberikan hidup saya kepada-Mu, dan segala sesuatu yang Engkau inginkan dari saya, itulah yang saya pilih. Kalau itu berarti penderitaan, saya akan menerimanya. Hanya ajarkan saya untuk mengikuti putera-Mu Yesus dan untuk belajar mencintai sebagaimana Dia mencintai (www.ccr.org.uk/duquesne.htm [1].). Dalam perkembangannya, gerakan karismatik Katolik juga melibatkan para pengikut gereja Kristen lain seperti Betty Schoemaker yang merupakan anggota Gereja Epikospal tetapi juga anggota persekutuan doa pentakosta dan Florence Dodge yang merupakan anggota Gereja Presbyterian. Buku yang mereka pakai untuk retret adalah The Cross and the Switchblade tulisan seorang pendeta Pentakosta, David Wilkerson, dan They Speak with Other Tongues karangan John Sherrill. Buku The Cross and the Switchblade berkisah tentang para penjahat di daerah rawan kriminalitas, Bedford-Stuyvesant, yang bertobat dan dibaptis dengan karunia Roh Kudus lewat pelayanan Wilkerson. Kemudian gerakan Karismatik di dalam gereja Katolik terus berkembang pesat sehingga Majalah Time tanggal 14 Juni 1968 memuat tajuk, "Kharisma on the Rise (karisma sedang naik daun)." Gerakan ini juga telah menimbulkan sikap pro-kontra di kalangan penganut agama Katolik, namun Paus Johanes Paulus II berdoa untuk memohon karunia Roh Kudus dengan menyebutkan istilah Pentakosta baru. Dalam Lumen Gentium No. 12 disebutkan, "Roh Kudus tidak hanya menyucikan dan membimbing umat melalui sakramen serta pelayanan dan menghiasinya dengan keutamaan, Dia juga ‘membagi-bagikan’ karunia-Nya kepada masing-masing menurut kehendak-Nya (1 Korintus 12:11)." Selanjutnya di Indonesia, gerakan Karismatik Katolik dimulai oleh almarhum Sr Bernadette, RGS dari Susteran Gembala Baik dan almarhum Rm Makmun, OFM. Sr Yohana dari biara kontemplatif Carmel di Lembang memperkenalkan cara berdoa karismatik tetapi beliau kemudian pindah ke Amerika setelah pimpinan Carmel dari Roma menganjurkan beliau untuk kembali kepada doa kontemplatif. Baru kemudian Rm Yohanes Indrakusuma, Ocarm mengajarkan cara berdoa karismatik di Tumpang, Malang dan kemudian mengembangkannya di Carmel, Cikanyere. Dengan restu dari Mgr Leo Sukoto, SJ terjadilah rangkaian pertemuan karismatik Katolik dengan seminar-seminar Hidup Baru. Selanjutnya rangkaian pertemuan tersebut meluas ke seluruh Indonesia menjadi Pembaharuan Karismatik Katolik Indonesia. KWI (saat itu masih disebut MAWI) akhirnya mengeluarkan dokumen yang menyatakan bahwa gerakan Karismatik merupakan gerakan pembaharuan yang otentik di dalam Gereja Katolik. Berdasarkan apa yang saya alami dengan mengikuti berbagai retret karismatik di Carmel Tumpang maupun Cikanyere, ajaran-ajaran dan cara beribadah dalam retret tersebut memang merupakan kombinasi berbagai tradisi untuk meneguhkan iman para pesertanya. Dalam retret bukan hanya dilaksanakan ibadah karismatik dengan lagu-lagu dan tarian karismatik tetapi juga doa Yesus yang merupakan tradisi doa para rahib dari Gereja Timur. Doa Yesus yang membutuhkan ketenangan dan keheningan untuk berkontemplasi di malam hari umumnya dapat diterima oleh semua pengikut agama Katolik. Sementara ibadah karismatik dengan bahasa roh, kesaksian, lagu-lagu dan tarian yang penuh sukacita masih diterima dengan perasaan aneh dan ragu-ragu oleh sebagian pengikut agama Katolik yang baru pertama kali ikut retret. Ciri lainnya yang khas dari retret di Carmel adalah penekanan pada bahasan Alkitab tanpa melupakan tradisi suci gereja (sakramen) dan ajaran gereja (magisterium). Karena itu, ajaran dalam retret di Carmel selalu diisi secara bergantian oleh para frater/suster Carmel, pastor paroki dan bahkan orang awam yang menjadi anggota Komunitas Tritunggal Mahakudus. Cara-cara beribadah dan mengajar dalam berbagai retret di Carmel juga menarik para pengikut gereja lain di luar Gereja Katolik. Mereka bukan hanya menikmati cara beribadah yang sama seperti di gereja mereka tetapi juga belajar untuk memahami cara beribadah di Gereja Katolik seperti perayaan ekaristi dan doa-doa kontemplatif. Jadi, retret di Carmel seolah-olah menjadi gerakan eikumene bagi semua orang yang menjadi pengikut Kristus. (Referensi: Deshi Ramadhani, SJ: Mungkinkah Karismatik sungguh Katolik?, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2008). 

0 komentar:

Protected by Copyscape Duplicate Content Protection Tool
Template by : Roberth Fabumasse @2017