*** A G N U S - D E I ***
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 07 Juli 2013

Resensi Dan Tinjauan Kritis Atas Novel "The Jacatra Secret"




PENGARUH NOVEL DA VINCI CODE ATAS THE JACATRA SECRET

Novel dengan judul The Jacatra Secret dengan tebal 524 halaman memberikan banyak informasi dan kejutan luar biasa. Betapa tidak? Kita selama ini memiliki informasi standar dalam buku sejarah bahwa Jakarta sebagai pusat ibukota pada zaman kolonial adalah Kota Batavia peninggalan VOC (Vereinigde Oost-Indische Compagnie) yang disebut juga dengan Kompeni yang terbentuk pada tahun 1602. Namun kali ini kita dikejutkan dengan kenyataan yang dikemas dalam novel thriler bahwa Jakarta adalah kota Masonik yaitu organisasi rahasia dan persaudaraan yang terkenal dengan istilah Freemasonry dalam bahasa Inggris atau Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda. Simbol-simbol Masonik tersebut dapat terlihat jelas dalam jejak-jejak keberadaan bangunan dan kuburan bekas Belanda seperti Stadhuis (sekarang Gedung Balai Kota Jakarta dan Museum Jakarta), Adhucstat Logegebouw (sekarang gedung BAPENNAS),Kerkhof Laan (sekarang Tempat Pemakaman Umum Kebon Jahe Kober yang kemudian sejak tahun 1977 diganti menjadi Museum Taman Prasasti), Bundaran Hotel Indonesia.

Pada halaman 9, penulis novel ini memberikan pemaparan awal yang bagi saya merupakan maksud dan tujuan novel ini ditulis, dengan mengatakan fakta mengenai apa dan bagaimana Batavia sbb: “Batavia dibangun VOC menurut cetak biru Freemasonry Hindia Belanda. Kelompok persaudaraan okultis ini menyisipkan aneka simbol Masoniknya di berbagai tata ruang kota, arsitektur gedung dan monumen, prasasti makam dan lainnya, yang masih bisa disaksikan hingga sekarang”.

Kisah ini diawali sebuah prolog dengan setting historis tahun 60-an mengenai kekecewaan pimpinan tertinggi Freemasonry di Indonesia bernama Valentijn de Vries atas surat keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dengan nomor 18.1961 yang memerintahkan pembubaran organisasi-organisasi seperti Vrikjmentselaren -Loge, Moral Rearmemant Movement, Ancien Mystical Organization of Sucen Cruiser (Amorc) sehingga de Vries akhirnya menginstruksikan pada para anggotanya untuk membubarkan diri secara formal namun tetap memelihara keberadaan organisasi tersebut secara non formal.
Kisah dimulai dengan setting historis tahun 2011 diawali dengan tewasnya salah satu tokoh mazhab ekonomi Neo Liberal (NeoLib) bernama Profesor Sudrajat Djoyonegoro ditangan seorang anggota persaudaraan rahasia bernama Drago. Peristiwa pembunuhan terjadi di pelataran Gedung Balai Kota Jakarta atau Museum Jakarta yang pada zaman Belanda disebut dengan Stadhuis.

Kematian misterius ikon NeoLib tersebut menggemparkan Jakarta dan polisi cukup kesulitan memecahkan siapa pelaku pembunuhan keji tersebut. Posisi tubuh Profesor Sudrajat Djoyonegoro yang tewas di depan pintu gerbang menyisakan satu misteri yang akan menuntun pada sebuah petualangan pemecahan makna simbolik dan keterlibatan Freemasonry. Tangan kanan menunjuk di atas kepala dan pada tembok putih pagar gerbang Stadhuis tertulis sebuah anagram AS AT DUTCH. Sebelum ditembak mati, sang pembunuh mencari keberadaan sebuah medalion yang dipercayakan oleh persaudaraan rahasia kepada Profesor Sudrajat.

Adalah DR. Grant Whitemaker seorang pakar simbolog dari Universitas George Washington yang sedang berada di Jakarta untuk memenuhi undangan Conspiratus (pertemuan para peminat teori konspirasi) terlibat dalam pemecahan makna simbolik yang ditinggalkan Profesor Sudradjat. Keterlibatannya atas referensi seorang gadis peranakan Minangkabau dan Prancis bernama Angelina Dimitrea seorang mahasiswa Paska Sarjana yang sedang mendalami Psikologi Kriminal dan magang di Bareskrim Polda Metro Jaya.

Penokohan dan latarbelakang peristiwa dalam novel ini sama persis dengan novel Da Vinci Code karya Dan Brown yang menuai kontroversi dan menimbulkan skeptisme dalam kalangan Kekristenan. Dalam novel Da Vinci Code, peristiwa diawali dengan terbunuhnya seorang kurator bernama Jacques Sauniere di Louvre Prancis dengan tanda-tanda simbolik dan penuh teka teki di sekitar mayatnya. Polisi memanggil Robert Langdon seorang dosen simbologi agama dari Harvard untuk memecahkan simbol dan petunjuk misterius disekitar mayat. Usaha Langdon ditemani oleh seorang kriptografer polisi bernama Sophie Neveu. Sauniere yang tewas di museum tersebut bukan saja kakek dari Sophie melainkan seorang Grand Master disebuah kelompok persaudaraan yang dipercaya menjaga rahasia purba yang jika diungkapkan akan mengancam keberadaan Gereja. Sauniere tewas karena melindungi lokasi dimana rahasia Cawan Suci berada.

Bedanya dalam novel Da Vinci Code, Robert Langdon dan Sophie Neveu terlibat petualangan menyusuri jalanan di kota Paris hingga sampai di kediaman Leigh Teabing yang eksotik dengan diapit dua buah danau pribadi bahkan sampai pergi menuju London dan terlibat pengejaran oleh polisi, maka kisah DR. Grant dan Agelina lebih banyak berputar di kota Jakarta khususnya beberapa lokasi bangunan yang diduga sebagai pusat Freemasonry di zaman Belanda seperti Stadhuis, Adhucstat Logegebouw, Kerkhof Laan serta  Bundaran Hotel Indonesia.

Upaya DR. Grant dan Agelina untuk memecahkan simbol misterius yang ditinggalkan Profesor Sudradjat menuntun mereka dalam petualangan mendebarkan yang akan mempertemukan mereka dengan sejumlah nama seperti Sally Kostova perempuan Uzbekisten yang menjadi sekretaris pribadi sekaligus istri simpanan Profesor Sudradjat, Drago sang pembunuh Profesor Sudradjat, kemudian Kasturi seorang pensiunan AURI yang tinggal di pangkalan Halim Perdana Kusuma yang setara dengan Leigh Teabing dalam novel Da Vinci Code karena dari Kasturi, DR. Grant dan Angelina banyak mendapatkan informasi penting terkait dengan misteri kematian Profesor Sudradjat.

Medalion di tangan Sally Kostova yang ditemukan secara tidak sengaja dalam tasnya paska kematian Profesor Sudradjat menjadi fokus dalam novel ini karena dalam medalion tersebut tersimpan sebuah peta mengenai lokasi yang diincar oleh para pengusaha yang berkuasa di Washington yang memiliki jaringan persaudaraan rahasia Freemasonry. Lokasi rahasia tersebut akhirnya terbongkar melalui pemecahan sandi-sandi yang rumit dari satu tempat ketempat lainnya berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan Profesor Sudradjat dalam rekaman video yang dipercayakan pada orang kepercayaan lainnya yang akhirnya terbunuh yaitu Doni Samuel.

Kisah ini diakhiri dengan tertangkapnya pembunuh Profesor Sudradjat dan terbongkarnya misteri dibalik medalion dengan sebuah pengejaran yang membawa para pembaca novel ini pada sebuah lorong-lorong rahasia di bawah tanah Jakarta yang telah dibuat kaum Freemasonry Belanda yang tidak banyak diketahui banyak orang di Jakarta.

Novel ini tidak hanya berkisah mengenai bahaya konspirasi kaum Freemasonry dengan setting kota Jakarta lama yaitu Batavia namun di dalam novel ini banyak dikaji mengenai seluk beluk Batavia dan misteri simbol-simbol yang terpampang di beberapa lokasi penting seperti Stadhuis, Adhucstat Logegebouw, Kerkhof Laan serta  Bundaran Hotel Indonesia yang luput dari pemantauan buku-buku dan kajian sejarah di negeri ini . DR. Grant yang menjadi nara sumber pemaparan latar belakang Batavia dan simbol-simbol Masonik rupanya mewakili pemikiran penulisnya yaitu Rizki Ridyasmara yang berusaha untuk meyakinkan pembacanya akan keberadaan dan keterkaitan Freemasonry di Indonesia sejak keberadaan VOC hingga jaringan Internasional yang berusaha membuat negeri Indonesia terpuruk dalam kelumpuhan ekonomi, sosial, politik, kebudayaan.

Namun sayangnya banyak uraian dan pemikiran penulisnya yang diselipkan dalam ucapan-ucapan tokoh DR. Grant Whitemaker dan Kasturi yang bias dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara historis maupun teologis ketika Kekristenan dihubung-hubungkan dengan keberadaan Freemasonry dan darimana Freemasonry berakar.

Sebagaimana penulis novel ini mengatakan, “Semua deskripsi tata ruang kota, arsitektur museum, monumen dan prasasti makam dalam novel ini adalah NYATA” (hal 9) maka saatnya saya akan mengajak pembacara kajian saya untuk memisahkan antara mana yang FAKTA dan mana yang FIKSI dalam novel ini. Bahkan apa yang diyakini sebagai fakta dan realita oleh penulis novel ini akan saya buktikan sebagai fiksi karena didasarkan pada kajian yang distortif dan subyektif.

Saya membatasi diri untuk memberikan kajian kritis yang berkaitan dengan ranah teologi dan agama dalam hal ini Kekristenan yang disinggung-singgung dalam novel ini dan tidak akan memberikan kajian kritis yang terkait dengan rumor politik yang sematkan dalam novel ini.
 

0 komentar:

Protected by Copyscape Duplicate Content Protection Tool
Template by : Roberth Fabumasse @2017