Resensi dan Tinjauan Kritis Atas Novel "The Jacatra Secret" (3)
APAKAH VOC MERUPAKAN ORGANISASI LAYAR FREEMASONRY?
Dalam
novel ini dikisahkan saat DR. Grant White Maker memberikan ceramah di
pertemuan Conspiratus, pakar simbologi rekaan Rizki Ridyasmara
menjelaskan kepada peserta seminar demikian: “Saudara-saudaraku
sekalian, VOC – Vereenigde Oost-Indische Compagnie adalah organisasi
layar Vrijmetselaren, kelompok persaudaraan Mason Bebas Belanda. Salah
satu bukti, kemiripan antara simbol VOC dengan simbol Freemasonry,
sebuah heksagram. Coba kita lihat bersama-sama simbol itu...”[1]
Sebelumnya dalam prolog pengantar novelnya, Rizki Ridyasmara mengatakan sbb: “Batavia
dibangun VOC menurut cetak biru Freemasonry Hindia Belanda. Kelompok
persaudaraan okultis ini menyisipkan aneka simbol Masoniknya di berbagai
tata ruang kota, arsitektur gedung dan monumen, prasasti makam dan
lainnya, yang masih bisa disaksikan hingga sekarang”[2].
Simbol-simbol Masonik tersebut dapat terlihat jelas dalam jejak-jejak keberadaan bangunan dan kuburan bekas Belanda seperti Stadhuis (sekarang Gedung Balai Kota Jakarta dan Museum Jakarta), Adhucstat Logegebouw (sekarang gedung BAPENNAS), Kerkhof Laan
(sekarang Tempat Pemakaman Umum Kebon Jahe Kober yang kemudian sejak
tahun 1977 diganti menjadi Museum Taman Prasasti), Bundaran Hotel
Indonesia yang melambangkan mata horus jika dilihat dari udara, simbol
Baphomet (Setan dengan kepala kerbau) di gedung Stadhuis [3].
Dalam novel tersebut diulas secara detail lambang-lambang Masonik
tersebut dengan latar belakang kisah thriler yang nyaris sama dan
mengadopsi novel kontroversial the Da Vinci Code karya Dan Brown.
Beberapa
lambang tersebut mengekspresikan kecenderungan angka 13 yang muncul di
sejumlah tempat bekas peninggalan VOC tersebut, kemudian lambang
Ouroborous (ular melingKar menelan ekornya), lambang salib Templar,
lambang Star of David, lambang Mawar, dll
VOC: Definisi, Sejarah dan Karakteristik
Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) didirikan tanggal 20 Maret 1602 dan merupakan perusahaan dagang
yang semula hanya memfokuskan pada perdagangan semata dan bukan
penaklukan wilayah[4]. Beberapa ahli sejarah kurang sepakat apakah VOC
pada mulanya tidak memiliki motif-motif lain selain perdagangan.
Beberapa ahli sejarah menghubungkan dengan tiga istilah 3-G (Gold,
Glory, Gospel). DR. Verkyul pun memberikan konfirmasi dengan
menggunakan istilah sbb: motif merkantil-ekonomis, motif teokratis,motif kultural, motif imperial[5].
Sekalipun
perusahaan dagang, tidak dapat disangkal bahwa VOC mirip sebuah
pemerintahan Kristen yang mempunyai kekuasaan politis untuk mengadakan
perjanjian dengan pemerintahan lain, mengambil keputusan perang,
mengadakan dan memelihara tentara, membuat dan mengedarkan uang[6].
Pada 1669, VOC merupakan perusahaan pribadi terkaya dalam sepanjang
sejarah, dengan lebih dari 150 perahu dagang, 40 kapal perang, 50.000
pekerja, angkatan bersenjata pribadi dengan 10.000 tentara, dan
pembayaran dividen 40%[7].
VOC
mempunyai kewajiban agamawi karena diwajibkan oleh pemerintah Belanda
melakukan pengawetan atau pemeliharaan kepercayaan umum dalam hal ini
agama Kristen sebagai agama yang diakui sah oleh pemerintah kerajaan
Belanda yang beraliran Calvinis. Pemeliharaan kepercayaan umum tersebut
selaras dengan bunyi pengakuan iman Belanda pasal 36 (Nederlandsche Geloofsbelijdenis).
Berdasarkan perintah tersebut maka VOC mengeluarkan berbagai peraturan
al., memelihara gereja yang kudus, menolak dan membasmi segala rupa
penyembahan berhala dan agama palsu – bukan saja Islam dan agama kafir
namun Katolik dan aliran Lutheran dan diluar Calvinis – serta membiayai
berbagai kegaiatan agamawi seperti ibadah, pengajaran agama,
pemeliharaan rohani serta penyebaran agama. Hanya terkait tugas
penyebaran agama, VOC kerap melalaikan tugas ini jika sudah berbenturan
dengan kepentingan perdagangannya. Bahkan orang-orang Belanda yang
tergabung dalam VOC mengabaikan nurani Kristennya[8].
Tugas
penyebaran Injil tidak hanya dilaksanakan oleh VOC. Dalam
perkembangannya khususnya setelah VOC bangkrut dan diambil alih
pemerintahan Belanda, tugas penyebaran Injil dilakukan baik oleh badan
gereja resmi dalam hal ini oleh Netherlandsche Hervormde Kerk (NHK) maupun kelompok-kelompok di luar gereja resmi seperti Het Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), Nederlandsch Gereformeerde Zendings Vereeniging (NGZV), Doopsgezinde Zendings Vereeniging
(DZV) serta kelompok awam yang tidak terikat dalam organisasi tertentu
seperi F.L. Anthing (1820-1883),C.P. Stevens-Philips (1824-1876), J.C.
Philips-van oostrom (1815-1877), E.J. De Wildt-Le Jolle (1824-1906),
Tunggul Wulung (1800-1885) seorang pribumi jawa yang menjadi pertapa dan
guru ngelmu sebelum masuk Kristen[9].
Di
zaman VOC berkuasa, gereja yang terikat dengan VOC kerap mendapatkan
benturan. Keterikatan dan kebergantungan gereja yang dikuasai VOC
terutama dalam hal keuangan seperti memberi gaji pendeta. Kerap terjadi
bahwa pendeta tidak berkutik menghadapi kebobrokan moral pejabat VOC
yang secara kepangkatan berada di atasnya[10]. Namun tidak semua
pendeta bersikap tutup mulut dan berdiam diri. Seorang pendeta VOC
bernama Justus Heurnius kerap memberikan kritik atas ketimpangan sosial
dan ketidakadilan sosial. Heurnius kerap membela rakyat Nusantara yang
tertindas oleh VOC. Ketika Batavia diserbu Sultan Agung dari Mataram
tahun 1628, beliau memberikan komentar: “Kenyataan ini merupakan
hukuman yang adil bagi umat yang celaka, yaitu umat yang hidupnya
sehari-hari, tidak mau mengamalkan perintah Tuhan...”[11]. Akibat
pernyataannya beliau diasingkan ke Indonesia Timur (1632-1638) dengan
harapan tidak lagi kembali ke negeri Belanda.
Freemasonry (Vrijmetselarij) di Masa VOC
Paska
kekalahan VOC terhadap Inggris pada perang keempat (1780-1784)
mengakibatkan perubahan peta kekuatan ekonomi dari VOC ke Inggris. Tahun
1795 VOC meninggalkan hutang sebesar 120 gulden dan akhirnya diambil
alih oleh pemerintahan Belanda. Negara mengambil alih seluruh
pengelolaan VOC yang masih tersisa. Tahun 1811 Inggris merebut pulau
Jawa dan mengambil alih kepemimpinan di bawah Gubernur Thomas Raffles.
Loji
pertama di dirikan di Batavia saat Gubernur Jendral dipimpin oleh
Petrus Albertus van der Parra (1761-1775). Kepemimpinannya dianggap
kurang baik karena bersifat otoriter bahkan para pendeta mendapat
perlakuan kurang baik sehingga para pendeta menganggapnya sebagai
penguasa teladan.[12]
Keadaan
tidak lebih baik disaat kepemimpinan dikendalikan oleh Jeremias van
Riemsdijk (1775-1777). Sifat kepemimpinan Oligarkis. Sejarawan Stapel
memberikan pujian kepada Reynier de Klerk (1777-1780) sebagai gubernur
pengganti. Stapel menyebutnya sebagai orang yang jujur, rendah hati,
pekerja keras. Banyak pengembangan dibidang seni dan ilmu pengetahuan
digiatkan pada zaman Reynier.
Dibawah
kepemimpinan Willem Arnold Alting (1780-1796) Hindia Timur mengalami
kemerosotan yang paling menyedihkan.Demikian pula di zaman Petrus
Gerardus van Overstraten (1796-1801).
Pengambilalihan
peran VOC oleh pemerintah Belanda baru terjadi tahun 1808-1811 oleh
Daendles. Perang Eropa berakhir setelah perang Napoleon berhenti pada
tahun 1815. Wilayah yang pernah direbut Inggris dikembalikan kepada
Belanda. Di Den Hagg terjadi keputusan baru yang bersifat liberal
humanistis diman pemerintah Belanda berhak atas hasil usaha di Hindia
Belanda namun tidak boleh merugikan pribumi.
Peraturan
pemerintah tahun 1811 (pasal 77) dikeluarkan perundangan baru yang
berpihak pada kepentingan rakyat pribumi. Pajak yang menyiksa dan
memberatkan tidak diperbolehkan. Namun demikian saat Cultuurstelsel
(perundangan pembudidayaan tanaman atau sistem Tanam Paksa)
dikembangkan pada tahun 1830-1870 sangat bertentangan dengan peraturan
pemerintah tahun 1811 tersebut sehingga membuat Douwes Dekker melakukan
perlawanan dan membuka aib pemerintah kolonial terhadap penduduk di
wilayah Lebak.
Pemicu
penyimpangan pemerintah adalah pecahnya perang di Belgia tahun 1830
sehingga menghabiskan kas negara Belanda sehingga harus mengubah
kebijakan menjadi eksploitatif seperti di zaman VOC. Penggagas Cultuurstelsel adalah
Van den Bosch sehingga menghasilkan gulden yang berlimpah bagi
Belanda. Sistem ini dikenal dengan sebutan tanam paksa dimana
pemerintah Belanda memaksakan pribumi menanam apa yang mereka mau dalam
jumlah besar namun pribumi memperoleh hasil yang kecil. Kebijakkan ini
diteruskan melalui para pemimpin lokal. Jawa menjadi pelampung yang
menyelamatkan Nederland dari bahaya tenggelam[13]
Loji “La Choisie” di Batavia (1764-1766)
Sebelum
tahun 1756 di Hindia Timur telah berkembang pengikut Mason Bebas.
Sejarawan Hageman mengatakan bahwa keberadaan para Mason di Batavia
berasal dari Inggris[14].
Sejarawan Van der Veur mengatakan bahwa loji pertama yang didirikan adalah La Choisie
di Batavia tahun 1762 atas prakarsa J.C.M. Radermacher (1741-1780)
seorang syahbandar Batavia. Beliau adalah anak Suhu Agung pertama dari
Tarekat Mason di Belanda bernama Joan Cornelis Radermacher. Tidak ada
kesepakatan diantara sejarawan mengenai persisnya lembaga ini didirikan.
Ada yang mengatakan 1762 (Van der Veur dan Gelman Taylor) dan ada yang
mengatakan 1764 (literatur Masonik). Kemudian terjadi pembagian antara
Loji Solomon di Benggala India dan Loji La Choisie.
Sejarawan de Geus mengatakan bahwa pembangunan loji La Choisie,
dikatakan sebagai langkah berani karena situasi jaman tersebut
keberadaan Tarekat Mason di musuhi baik di negeri induknya di Belanda
maupun di Batavia dan oleh para rohaniawan gereja, Tarekat Mason Bebas
dianggap sebagai “mahluk-mahluk berbahaya bagi negara dan gereja” [15].
Sementara
sejarawan Gelman Taylor memandang bahwa keberadaan Tarekat Mason Bebas
khususnya pada saat pendirian loji La Choisie terjadi karena munculnya
perkembangan mestizo (keturunan darah campuran) yang mencapai
kejayaan di Abad XVIII sehingga menjauhkan mereka dari kebudayaan asli
di Belanda dan membuat mereka terkucil.
Gubernur
Jendral van Imhoff (1743-1750) ingin menguasai koloni dagang tersebut
menjadi koloni warga Belanda di Jawa. Van Imhoff banyak mendatangkan
petani Belanda dan memajukkan modernitas di Hindia Timur sehingga
menggeser kedudukan para mestizo. Kebijakkan van Imhoff diteruskan oleh Jacob Mossel (1750-1761) dengan memberikan pembatasan-pembatasan kepemilikan oleh para mestizo.
Keberadaan
Tarekat Mason menjadikan seseorang yang bergabung ke dalamnya
(termasuk para mestizo) memiliki perilaku kebelandaan dan membuat
seseorang memiliki status tinggi karena dapat dekat ke elit
pemerintahan[16]
Loji
ini berdiri tidak lama. Ada yang mengatakan Loji ini sudah berhenti
tahun 1766, ada yang mengatakan 1767 (Hageman) dan ada yang mengatakan
bahwa sebelum menerima surat konstitusi tahun 1770, loji itu telah
tidak berfungsi (De Visser Smits). Tidak ada kata sepakat mengenai
berhentinya keberadaan loji tersebut. Ada yang mengatakan karena
larangan pemerintah. Ada yang mengatakan ketidakmampuan menampung
kehadiran anggota yang pluralis sebagaimana pernah dilakukan
Radermacher[17] .
Loji “La Fidele Sincerite” (1767) dan Loji “La Vertueuse” (1769)
Keanggotaan loji La Fidele Sincerite sebagian besar dari La Choisie
maka dikatakan bahwa loji ini adalah penerus dari La Choisie (hal 66).
Loji ini diresmikan oleh Abraham van der Weyden wakil Suhu Agung
Provinsial di Batavia dan peresmian dilaksanakan di sebuah losmen dengan
nama Heerenlogement tempat dimana para Masonik La Choisie dulunya kerap mengadakan pertemuan.
Beberapa
peneliti Masonik menyimpulkan bahwa keberadaan loji La Fidele
Sincerite sebagai tempat orang kurang berada (tempat pelarian bagi para
tentara, burger, orang mardika, pelaut serta pegawai VOC menengah ke
bawah) sehingga kerap menimbulkan perselisihan karena perbedaan status
dan agama sehingga terciptalah loji La Vertueuse yang lebih
homogen dalam hal status sosial. Ketua pertamanya bernama Hasselaar
seorang administratur gudang gandum[18].
Hageman menilai peresmian La Fidele Sincerite
1772 bukan oleh Suhu Agung melainkan hanya wakilnya Abraham van der
Weyden mrupakan ketidaan hubungan yang mendalam antara Loji Agung dan
Loji Hindia Timur. Heren Zeventien (Tuan-tuan Tujuhbelas yang
merupakan penentu kebijakan kompeni) tidak membolehkan keikutsertaan
loji Hindia Timur di luar sepengetahuan mereka[19].
Daftar keanggotaan Tarekat Mason Bebas di Loji La Fidele Sincerite
sangat beragam mulai dari pegawai pemerintahan sampai, tentara,
pengacara, swasta sebanyak 48 anggota[20]. Kedudukan mereka lebih rendah
dari anggota di Loji La Vertueuse meskipun jumlahnya hanya 38
anggota[21].
Pada tahun 1815 loji La Fidele Sincerite pindah dari Amanusgracht ke Tijgergracht dan
diresmikan oleh pemerintahan Ingris melalui Thomas Standford Raffles
seorang anggota Mason yang kemudian sebulan kemudian membuat dia naik
pangkat dan diangkat sebagai meester (suhu) di loji Vriendschap di Surabaya. Tahun 1819 dipindah ke sebuah rumah anggota Mason dan sampai tahun 1837 menjadi tempat pertemuan loji.
Tahun
1786 merupakan tonggak keemasan Freemason karena peresmian gedung baru
diresmikan oleh Gubernur Willem Alting dihadiri oleh para pejabat
tinggi. Freemason mulai dkenal khayalak [22].
Pelukis Prancis bernama Piron sekitar tahun 1794-1795 melukis 12 gambar simbolik bercorak Masonik dan dipindah ke gedung De Ster in Het Oosten
(loji Bintang Timur). Lukisan tersebut melambangkan: hikmat, kekuatan,
keindahan, kebajikan, amal, persatuan,kehati-hatian, pengharapan,
keadilan, kedamaian, keadilan, sifat berdiam diri”[23]
Berturut-turut
kemudian didirikan loji-loji Freemasonry atau Vrijtmetselarij atau
Tarekat Mason Bebas antara lain dengan nama: Loji La Constante et Fidele di Semarang (1801), Loji De Vrienschap di Surabaya (1809), Peleburan loji –loji di Batavia ke dalam loji baru De Ster in het Oosten (1837), Loji “Mata hari” di Padang (1858)[24]
Berbeda dengan DR. Th. Steven yang memusatkan Loji La Choisie, Loji La Fidele Sincerite di Batavia, Loji La Vertueuse, Loji La Constante et Fidele di Semarang, Loji De Vrienschap di Surabaya, Loji De Ster in het Oosten , Loji Mata hari di Padang,maka Rizki Ridyasmara dalam novelnya justru menyatakan bahwa Loji Adhucstat (sekarang gedung Bappenas , Jakarta) sebagai pusat Freemasonry di zaman Hindia Belanda sebagaimana dikatakan, “Freemasonry
di zaman Hindia Belanda memusatkan aktivitasnya di loji Adhucstat itu.
Dan sekarang, loji itu, gedung yang sama, dijadikan pusat perencanaan
pembangunan negeri ini...Mason dan Bappenas sama-sama berfungsi sebagai
Perencana dan Pembangun. Keduanya, yang dipisahkan zaman dan generasi,
telah menghuni gedung yang sama dan mempunyai tugas yang sama. Apakah
ini suatu kebetulan?”[25]. Pada bagian lain ditegaskan ulang mengenai fungsi Adhucstat sbb: “Adhucstat
dirancang oleh Ir. N.E. Burkoven Jaspers. Adhucstat memiliki arti
sebagai ‘Kami Masih Berdiri di Sini’. Setelah selesai pada tahun 1934,
gedung ini langsung difungsikan sesuai dengan perencanaan semula yakni
sebagai Loji atau markas persaudaraan Mason Bebas Hindia Belanda”[26]
Orang-orang Indonesia yang menjadi anggota Freemasonry
Pada zaman Jepang sudah ada beberapa orang Indonesia bergabung dengan Tarekat Mason Bebas sebanyak 50 orang [27].
Raden Saleh anggota Mason Bebas ditahbiskan tahun 1836 di Loji Eendracht Maakt Macht. Abdul Rahman buyut Sultan Pontianak tahun 1844 menjadi anggota Mason di Loji Vriendschap dan
dia adalah Muslim pertama yang ikut Mason Bebas[28]. Bupati Surabaya
bernama R.A. Pandji Tjokronegoro menjadi anggota tahun 1908.
Loji Vriendschap merupakan pusat anggota Mason dari Indonesia dan pada tahun 1870 didirikan Loji Mataram
di Jawa. Pangeran Soerjodilogo (keturunan Paku Alam) tahun 1871
menjadi anggota Mason. Persemian Loji Mataram dilaksanakan dengan rumah
pinjaman dari HB VI di Malioboro[29].
Abdurachman Surjomihardjo memberikan deskripsi pengaruh Freemasonry di wilayah Yogyakarta sbb: “Sejak
akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1891, beberapa anggota gerakan itu
telah berhubungan dan menanam bibit di lingkungan keluarga Paku Alam.
Paku Alam V telah resmi menjadi mason yang kemudian diikuti oleh Paku
Alam VI dan Paku Alam VII secara aktif”[30]
Salah
satu keluarga Paku Alam yaitu K.P.H Notodirdjo menjadi anggota Mason
sekaligus sebagai ketua pengurus besar Boedi Oetomo. Abdurachman
Surjomihardjo kembali menjelaskan: “Sejak awal paham Budi Utomo
memang berhubungan dengan Mason. Ketua Budi Utomo yang pertama, K.R.T.
Tirtokusumo, Bupati Karanganyar di Banyumas, mempunyai hubungan
perkawinan dengan keluarga Paku Alam”[31]
Raden Sujono menulis di Indisch Maconniek Tijdscrift
(IMT) menulis bahwa tahun 1928 ada 43 orang Jawa ikut Mason Bebas.
Empat dari keturunan raja, dua puluh pegawai pemerintah orang
indonesia, sepuluh memegang jabatan yang biasanya dipegang orang Eropa
dan tujuh berprofesi sebagai dokter hewan[32].
Loji sebagai pusat kegiatan Freemasonry kerap mendapatkan sorotan negatif dari masyarakat dengan sebutan Omah Setan karena kerap dijadikan media pemanggilan arwah. Abdurachman Surjomiharjo mendeskripsikan sbb: “Pertemuan
kaum mason diadakan di loge atau Loji Mataram di Jalan Malioboro. Pada
waktu Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia, gedung ini
dipakai oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Loji
Mason di kalangan masyarakat bumiputera disebut sebagai ‘Rumah Setan’.
Upacara penerimaan anggota baru mason diliputi oleh keanekaan dan
kerahasiaan. Upacara ini diadakan di loji, dalam bahasa Belanda disebut
Huis van Overdenking atau dalam bahasa Jawa disebut Omah Pewangsitan”[33].
Beberapa pengikut Freemasonry (Vrijmetselarij) membela bahwa istilah
“rumah setan” merupakan pengrusakan istilah dari “rumah pamagsitan” atau
“rumah permenungan”[34]
Bukan hanya di Batavia dihampir seluruh Jawa sudah tersebar loji-loji sbb:[35]
Loji tertua di Yogyakarta terletak persis di seberang Kantor Pos Besar, yaitu sebuah bangunan yang kini dinamai Benteng Vredeburg.
Bangunan benteng yang sering disebut Loji Besar atau Loji Gede itu
dibangun pada tahun 1776 - 1778, hanya dua tahun berselang setelah
berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, salah satu pecahan kerajaan
Mataram. Benteng yang semula bernama Rustenburg itu konon sengaja
didirikan di poros Kraton - Tugu agar bisa mengawasi gerak-gerik Kraton.
Dari
Vredeburg, sebuah loji yang paling terlihat adalah Loji Kebon, kini
dikenal dengan nama Gedung Agung. Bangunan yang juga bergaya eropa itu
didirikan tahun 1824 dan digunakan sebagai Gedung Karesidenan. Halaman
Loji Kebon sangat luas dan dihiasi arca-arca yang dikumpulkan para
pejabat Belanda dari penjuru kota Yogyakarta. Tahun 1912, kompleks Loji
Kebon dilengkapi dengan bangunan Societeit de Vereniging, tempat
pejabat Belanda berdansa dengan iringan biola.
Seperti
halnya Loji Besar, Loji Kebon pun juga menjadi saksi sejarah.
Pembangunan gedung yang dirancang A. Payen ini sempat berhenti karena
Perang Diponegoro tahun 1825 - 1830 yang hampir membuat pemerintah
Belanda bangkrut. Pada Masa Jepang, gedung ini menjadi kediaman petinggi
Jepang bernama Koochi Zimmukyoku Tyookan. Demikian pula sejak ibukota
Indonesia berpindah ke Yogyakarta tanggal 6 Januari 1946, gedung ini
menjadi istana kepresidenan. Hingga kini, meski ibukota Indonesia
berpindah lagi ke Jakarta, gedung ini tetap berstatus istana
kepresidenan.
Kawasan
loji lain adalah Loji Kecil yang berlokasi di sebelah timur Vredeburg
kini, tepatnya wilayah Shopping hingga hampir perempatan Gondomanan.
Berbeda dengan Loji Besar yang berfungsi sebagai benteng dan Loji Kebon
yang berfungsi sebagai gedung pemerintahan, Loji Kecil berfungsi
sebagai wilayah hunian. Kini, meski tinggal segelintir, kita masih bisa
menikmati beberapa bangunan lawas itu, di antaranya yang berada di
kompleks Taman Pintar. Di kawasan itu juga terdapat Gedung Societet
Militair yang dulu digunakan sebagai tempat para serdadu militer
Belanda bersantai.
Kawasan
Loji kecil merupakan pusat kawasan hunian orang Belanda pertama di
Yogyakarta. Sejumlah fasilitas pendukung kini juga masih bisa dinikmati
keindahannya, misalnya gereja Protestansche Kerk yang berdiri
tahun 1857 (kini menjadi Gereja Kristen Marga Mulya, berlokasi di utara
Gedung Agung) dan Gereja Fransiscus Xaverius Kudul Loji (bangunan
lama) yang berdiri tahun 1870, berada di sebelah selatan kawasan Loji
Kecil.
Satu
kawasan loji lain yang menarik adalah Loji Setan. Dinamakan demikian
karena gedung yang hingga kini nggak tahu kapan tahun pembangunannya
itu dikenal angker. Banyak orang mengatakan, pada ruang sebelah timur
dan aula tengah sering terdengar suara orang minta tolong dan suara
iringan musik dansa. Gedung yang kini berfungsi sebagai kantor DPRD ini
menurut cerita pernah disinggahi Gubernur Jendral Raffles pada tanggal
15 Mei 1812, saat Belanda sudah berkuasa di Yogyakarta.
Loji
Setan sejak beberapa lama memiliki beragam fungsi. Di masa lalu,
gedung ini sering digunakan untuk tempat bermeditasi dan sebagai ruang
pameran, misalnya pameran oleh Luch Bescherming Dienst pada tahun 1940.
Pasca kemerdekaan, gedung yang pada awalnya bernama Loji Marlborough
ini digunakan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia (1945-1949),
kantor Dewan Pertahanan Negara dan penyelenggaraan sidang Kabinet
(1948).
Bahkan
Tugu Yogyakarta dihubung-hubungkan dengan keberadaan organisasi
Vrijmetselarij atau Freemasonry. Ini terkait dengan lambang Bintang
Daud di tubuh tugu ini[36].
Tugu
Jogja dikenal sebagai salah satu simbol (land mark) kota Yogyakarta.
Dibangun oleh Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I),
pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk memperingati
perjuangan bersama-sama rakyat dalam melawan penjajah. Tugu Jogja
menjadi sebuah poros yang membagi antara Kraton Kasultanan, Panggung
Krapyak, Monumen Jogja Kembali, Laut Kidul dan Gunung Merapi.
Semboyan yang diusung Pangeran Mangkubumi dalam rangka simbol perlawanan rakyat melawan Pemerintahan Hindia Belanda adalah Golong Gilig
artinya bersatu padunya rakyat dalam melaksanakan perjuangannya.
Simbol ini digambarkan dengan tiang silinder (gilig) dan sebuah bola
(golong). Sayang sekali bentuk asli ini sudah tidak dapat dilihat lagi
karena gempa yang menghancurkan tugu tersebut di tahun 1867.
Renovasi
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889 (pada masa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII). Renovasi ini dilakukan dengan
merubah beberapa aspek penting sehingga bentuk dari tugu jogja menjadi
yang kita lihat sekarang ini.
Sejauhmana
hubungan lambang Bintang Daud dengan keberadaan dan aktivitas
organisasi Vrijmetselarij atau Freemasonry atau lebih jauh lagi dengan
keberadaan Yahudi dan Yudaisme, masih samar.
Beberapa gedung Freemasonry di Jawa dapat kita lihat sbb:[37]
Vrijmetselaarsloge Ster in het Oosten in Weltevreden te Batavia
Vrijmetselaarsloge
de Ster in het Oosten in Weltevreden te Batavia verlicht ter
gelegenheid van het huwelijk van pinses Juliana en prins Bernhard.
De Loge St. Jan te Bandoeng; vermoedelijk een vrijmetselaarsloge
Vrijmetselaarsloge Arbeid Adelt te Makassar
Vrijmetselaarsloge Tidar te Magelang
Vrijmetselaarsloge La Constante et Fidele te Semarang
Loji Menteng
Loji Mataram
Loji Harmoni, Jakarta
Loge de Vriendschap di Toendjoengan, Surabaya, tahun 1900
Lambang Freemasonry (Vrijmetselarij) di Loge de Vriendschap,
Toendjoengan- Surabaya
Kesimpulan
Dari
pemaparan perihal kelahiran VOC dan pengaruhnya di Indonesia,
nampaklah pada kita bahwa VOC memang memiliki fungsi bukan hanya sebagai
perusahaan dagang melainkan merangkap seperti negara dalam negara yang
juga turut mengemban tugas pemeliharaan agama para anggota VOC yang
kemudian berkembang untuk disebarluaskan kepada para penduduk Nusantara.
Adalah
keliru mengatakan bahwa VOC adalah organisasi layar Vrijmetselarij
atau Freemasonry. Beberapa keberatan perlu dikemukakan sbb: Pertama, jika
keberadaan loji sebagai tolok ukur keberadaan Freemasonry atau
Vrijmetselarij maka loji yang pertama didirikan menurut sejarawan Van
der Veur adalah La Choisie di Batavia tahun 1762 atas prakarsa
J.C.M. Radermacher (1741-1780) seorang syahbandar Batavia, menyusul
loji-loji lainnya. Padahal VOC didirikan tahun 1602. Jika demikian
dapat disimpulkan bahwa keberadaan organisasi rahasia Freemasonry
nampaknya membonceng di dalam tubuh VOC daripada mengatakan VOC adalah
Vrijmetselarij. Kesamaan simbol antara Freemasonry dan VOC tidak
membuktikan apapun karena penyamaan simbol dapat dipersepsikan sesuai
kebutuhan si penafsir.
Kedua,
Bagaimana mungkin VOC yang tunduk dibawah pemerintahan Belanda menjadi
sebuah organisasi layar Vrijmetselarij padahal pemerintah Belanda
sendiri mengutuk keberadaan Vrijmetselarij atau Freemasonry dan
menjulukinya sebagai “mahluk-mahluk berbahaya bagi negara dan gereja”?[38]
Ketiga
Vrijmetselarij lebih merupakan kelompok Gnostik (kebatinan) yang
berusaha menggali akar-akar spiritual dengan menggabungkan banyak
unsur-unsur mistik dari berbagai agama dan negara yang dituangkan dalam
simbol-simbol tertentu. Tidak ada kaitan antara Vrijmetselarij dengan
kegiatan politis apalagi makar dan konspirasi. Dengan bergabungnya
sejumlah tokoh keraton Yogyakarta dan pelopor organisasi Boedi Oetomo
yaitu DR Soetomo membuktikan bahwa mereka menganggap organisasi ini
lebih bercorak spiritual non agama yang mendorong pada usaha-usaha
pencerahan. Jika organisasi ini lebih mendorong kepada konspirasi dan
makar lalu siapa yang akan dikudeta sedangkan organisasi ini lahir di
kalangan orang Belanda yang notabene sebagai penjajah kala itu?
Keberadaan loji-loji yang kerap disebut “Rumah Setan” semakin
menguatkan karakteristik organisasi yang bercorak gnostik daripada
politik.
Keempat,
jika menggunakan jumlah pemakai simbol-simbol Masonik yang tertera
pada kuburan orang Belanda di Taman Prasasti sebagaimana Rizki
Ridyasmara asumsikan maka dari 1734 koleksi makam hanya ada 5 prasasti
yang menggunakan simbol-simbol Masonik sebagaimana Rizki Ridyasmara
akui sendiri dalam novelnya sbb: “Diantara 1734 buah koleksi yang
terdiri dari berbagai jenis prasasti bentuk nisan, tugu atau monumen,
piala, patung, karangan bunga, kijing, lempeng batu persegi, replika
serta miniatur berbagai bentuk, Drago (tokoh Masonik dalam novel ini)
ada lima prasasti yang memiliki simbol Grand Master Freemasonry: The
Skull and Bone Symbol. Simbol Tulang dan Tengkorak”[39]. Apa
artinya ini? Artinya tidak semua orang Belanda atau orang VOC adalah
anggota Freemasonry atau Vrijmetselarij. Buku Th. Stevens telah
mengungkapkan jumlah anggota Freemasonry atau Vrijmetselarij baik di
zaman VOC maupun pemerintahan Belanda. Jumlah tersebut tidak mewakili
kepentingan Freemasonry atau Vrijmetselarij.
Penemuan simbol-simbol Masonik di Batavia yang terukir dalam berbagai gedung peninggalan Belanda seperti Stadhuis (sekarang Gedung Balai Kota Jakarta dan Museum Jakarta), Adhucstat Logegebouw (sekarang gedung BAPENNAS), maupun pekuburan Belanda seperti Kerkhof Laan
(sekarang Tempat Pemakaman Umum Kebon Jahe Kober yang kemudian sejak
tahun 1977 diganti menjadi Museum Taman Prasasti) serta Bundaran Hotel
Indonesia selayaknya menjadi sebuah kajian khusus dan akademis dalam
bidang sejarah daripada menghubung-hubungan dengan teori konspirasi
serta mengaitkannya dengan agama tertentu dalam hal ini Yudaisme dan
Kekristenan. Upaya Rizki Ridyasmara yang seharusnya memberikan
pencerahan baru dibidang sejarah melalui penelusuran simbol-simbol
Masonik di Jakarta, bergeser menjadi isu teologis yang menyudutkan agama
tertentu dalam hal ini Yudaisme dan Kekristenan.
Literatur
sejarah di negeri kita hanya membahas perihal aktivitas VOC namun
tidak membahas organisasi rahasia Gnostik yang menunggangi aktifitas
VOC. Sudah saatnya penulis sejarah Indonesia memasukkan data-data serta
kajian baru seputar apa dan bagaimana mengenai keberadaan organisasi
rahasia yang bercorak Gnostik dengan nama Freemasonry atau
Vrijmetselarij tanpa ditunggangi pengkajian teologi yang bias.
End Notes:
[1] Op. Cit., The Jacatra Secret, hal 37
[2] Op.Cit., Jacatra Secret, hal 9
[3] Ibid., hal 83-104
[4] Bambang Ruseno Utomo, Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjuan Hubungan Islam dan Kristen, Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan 1993, hal 98
[5] DR, J. Verkyul, Ketegangan Antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending Pada Masa Politik Kolonial Etis, Jakarta: BPK Gunung Mulia 1990, hal 14-20
[6] Op.Cit.,Hidup Bersama di Bumi Pancasila, hal 98-99
[7] Vereenigde Oostindische Compagnie (http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie
[8] Ibid., hal 99
[9]
DR. Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar
Kontekstualnya: Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX, Jakarta:
BPK Gunung Mulia 2001, hal 26-46
[10] Op.Cit.,Hidup Bersama di Bumi Pancasila, hal 102
[11] Ibid., hal 102-103
[12] DR. Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, Jakarta: Sinar Harapan 2004, hal 51
[13] Ibid., hal 54
[14] Ibid., hal 56
[15] Ibid., hal 60
[16] Ibid., hal 62-63
[17] Ibid., hal 65
[18] Ibid., hal 69
[19] Ibid., hal 70
[20] Ibid., hal 73-75
[21] hal 75
[22] Ibid., hal 90
[23] Ibid.,
[24] Ibid., hal 90-138
[25] Jacatra Secret,Jakarta: Salsabila 2011, hal 200
[26] Ibid., hal 337
[27] Ibid., hal 299
[28] Ibid., hal 300
[29] Ibid., hal 301
[30] Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930,Depok: Komunitas Bambu 2008, hal 49
[31] Ibid.,
[32] Op.Cit., Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, hal 314
[33] Op.Cit., Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, hal 51
[34] Op.Cit., Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, hal 320
[35] Loji, The Old Building In Jogja (www.thickchek.blogspot.com/2010/02/loji-old-building-in-jogja.html)
[36] http://aninditasaktiaji.blogspot.com/2011/02/simbol-freemason-di-tugu-jogja.html
[37] http://www.kaskus.us/ kaskus loji.htm
[38] Op.Cit., Tarekat Mason Bebas dan Kehidupan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, hal 54
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar