Resensi dan Tinjauan Kritis Atas Novel "The Jacatra Secret" (5)
MENJAWAB BERBAGAI DAKWAAN NOVEL “THE JACATRA SECRET”
TERHADAP KEKRISTENAN
Ada
sejumlah pernyataan tendensius terkait Kekristenan yang memerlukan
beberapa tanggapan serius agar tidak menimbulkan bias pemahaman
terhadap eksistensi Kekristenan. Kebanyakan tuduhan yang dialamatkan
kepada Kekristenan dalam novel ini, banyak mengadaptasi dari gagasan
novel Da Vinci Code selain sumber-sumber lainnya. Ada beberapa dari
dakwaan tersebut yang benar namun banyak pula yang tidak akurat. Kita
akan memeriksa satu persatu dalam kajian berikut ini.
Apakah Kekristenan Merupakan Bentuk Lain Ritual Pagan Dewa Matahari?
“Kedua
mata Grant sekarang menatap lurus bagai menusuk ke dalam bola mata
gadis di depannya. Dia terdiam sesaat. Dengan suara rendah, lelaki itu
berkata serius, ‘Dan ingat Angelina...banyak peneliti agama yakin jika
kekristenan sekarang merupakan bentuk lain dari ritus pagan Dewa
Matahari ini’.
“Apa?
Maksudnya Yesus sebagai Anak Dewa Matahari? Anggelina Dimitrea memekik
tidak percaya. Untung kedai tidak begitu ramai. Tak ayal, beberapa
pengunjung sempat mengerling ke arah mereka”[1]
Tidak
dapat disangkal bahwa banyak pengaruh paganisme merusak wajah
Kekristenan yang berakar pada budaya Semitik Yudaik sehingga sedikit
banyak mendistorsi historitas dan pesan Kristiani yang sejati. Namun
kekeliruan yang fatal jika semua ekspresi Kekristenan masa kini
merupakan adopsi berbagai ritual pagan atau kekafiran. Sebelum kita
mengkaji berbagai unsur pagan mana saja yang merusak Kekristenan, kita
harus melihat secara utuh sejarah dan kepercayaan serta peribadatan
Kristen yang berakar pada budaya Semitik Yudaik. Kenyataan ini pun tidak
banyak diketahui oleh masyarakat Kristen di Indonesia.
Kekristenan Sebagai Anak Kandung Yudaisme
Hans Ucko mengulas secara kritis mengenai akar dan sumber Kekristenan sbb: “Gereja
Kristen, teologi Kristen dan Kekristenan secara keseluruhan, tidak
terpisahkan dengan umat Yahudi atau Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen
memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dalam lingkungan
Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah kenyataan tersebut dinilai sebagai
berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen melihat hubungan
diatas sebagai suatu masalah dan berupaya memecahkannya dengan
membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan
Yudaisme di sisi lainnya. Dengan cara ini, seseorang sebenarnya
‘membebaskan’ orang Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut
mencerminkan sebentuk rasa sulit [bagi orang Kristen atas hubungannya
yang terlalu dekat dengan umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup
saat ini. Seseorang memang tidak mudah mengakui akibat dari memilih
‘Tuhan Yahudi’ itu”[2].
TaNaKh
(Torah, Neviim, Ketuvim) dan Kitab Perjanjian Baru, tidak pernah
memberikan penamaan terhadap perilaku religius umat Yahweh dan umat
Mesias dengan sebutan “Mesianik” atau “Kristen”. TaNaKh maupun Brit ha
Khadasha justru memberikan identifikasi dengan sebutan “DEREK/DARKEY
YAHWEH” (דרכי יהוה band. 2 Sam 22:22, Yer 5:4, Ul 8:6, Mat 22:16, Kis
9:2, Kis 13:10).
“Sebab aku tetap mengikuti jalan Yahweh (דרכי יהוה) dan tidak menjauhkan diri dari Tuhanku sebagai orang fasik” (2 Sam 22:22).
Dalam
perkembangannya, sebutan “Yudaisme” lebih kerap ditujukan pada
religiusitas Bangsa Yishrael yang menyembah Yahweh dan berpusat pada
ibadah di Bait Suci. Istilah “Yudaisme” pertama kali muncul dalam Kitab 2
Makabe 2:21 dan 2 Makabe 8:1 serta 2 Makabe 14:38 dengan sebutan “tou Iaudaisemou” dan “toi Iaudaismoi” sbb:
“tentang penampakan-penampakan dari sorga guna orang-orang berani yang bertindak dengan gagah perkasa untu k kepentingan penganut agama Yahudi (τοῦ Ιουδαϊμοῦ)
sehingga mereka, meskipun hanya sedikit jumlahnya, berhasil merebut
kembali seluruh wilayah serta mengusir gerombolan orang asing”
“Adapun
Yudas yang disebut juga Makabe serta para pengikutnya pergi menyusupi
kampung-kampung. Dipanggilnyalah kaum kerabatnya dan dengan
menggabungkan dengan mereka semua orang yang tetap teguh dalam agama
Yahudi (τῷ Ιουδαϊμῷ), maka dikumpulkannya lebih kurang enam ribu orang”
“Oleh karena Nikanor ingin membuat permusuhan yang ditaruhnya kepada penganut agama Yahudi (Ιουδαϊμοῦ) menjadi nyata, maka disuruhnya lima ratus lebih prajurit menangkap Razis”
Bahkan
Rasul Paul mengidentifikasi bahwa dia pun seorang penganut agama
Yahudi yang taat sebagaimana dikatakan dalam Galatia 1:13 sbb: “Sebab kamu telah mendengar tentang hidupku dahulu dalam agama Yahudi: (τω ιουδαισμω/) tanpa batas aku menganiaya jemaat (Tuhan) dan berusaha membinasakannya”
Ketika
Yesus memberitakan Kerajaan Tuhan dan Injil dan setiap orang mulai
mempercayai bahwa Dia adalah Mesias yang dijanjikan dalam TaNaKh
(Torah, Neviim, Kethuvim), maka terbentuklah dua golongan orang yang
menerima Dia sebagai Mesias. Golongan pertama adalah golongan Yahudi
dari berbagai sekte dan kelas sosial yang berbeda dan kedua golongan non
Yahudi dari berbagai kelas sosial yang berbeda. Sebutan Christianoi muncul di Anthiokhia (Kis 11:26), yaitu julukan bagi Pengikut Mesias dari kalangan non Yahudi. Sementara sebutan Nazoraios atau Netsarim merupakan julukan bagi Pengikut Mesias dari kalangan Yahudi (Kis 24:5). Sebutan-sebutan seperti Christianoi atau Nazoraios,
tidak memberikan suatu pemahaman pada waktu bahwa mereka aalah
orang-orang yang terlepas dari Yudaisme. Mereka berada dan beraktivitas
dalam bingkai Yudaisme. Kekristenan pada waktu itu adalah salah satu
sekte dari Yudaisme.
Yesus Dan Para Rasul Mengajar Dalam Konteks Yudaisme
Anton Wessel mengatakan sbb: “Yesus bukan orang Kristen, tetapi orang Yahudi! Ucapan
Jullius Wellhausen ini menjadi terkenal dan sering dikutip orang.
Pernyataan ini pada dasarnya sangat sederhana dan jelas, sekalipun tidak
dapat dikatakan bahwa orang Kristen selalu menyadari betapa luas arti
pernyataan ini. Ungkapan ini menyatakan-betapa mungkin secara
mengejutkan-betapa sering orang Kristen kira, bahwa mereka sudah
memahami dan mengetahui seluruh pribadi-Nya. Mereka lupa bahwa
‘keselamatan datang dari bangsa Yahudi’, sebagaimana terungkap dalam
percakapan Yesus di sumur dengan perempuan Samaria itu (Yoh 4:22)”[3]
Robert dan Remy Koch menguatkan kembali ulasan Wessel sbb: “To
recap what we have spoken of earlier, Yeshua (Jesus) was from the
tribe of Judah, the direct line of David, fulfilling prophetic Tanakh
(OT) Scriptures regarding the promised Messiah. He observed the Torah
(Law) perfectly, celebrated all the Feasts of the Lord and the Sabbath
and was respected as Rabbi who spoke with authority even by those who
did not believe His Message. During His lifetime, His teachings were
considered well within Judaic tradition and his followers were regarded as a sect of Judiasm by the Jewish community. This sect, called the Nazarenes,…[4]
Bukti-bukti
bahwa Yesus seorang Yahudi dan melakukan karya mesianik dalam bingkai
kebudayaan Yahudi dan Yudaisme, nampak dalam beberapa hal berikut:[5]
Apakah bukti-bukti yang menguatkan bahwa Yesus adalah Ish Yehudi (seorang Yahudi)? Pertama,
garis silsilah Yesus (Mat 1:1-17, Luk 3:23-28). Silsilah yang
dilaporkan oleh Matius mengambil garis Yesus dari Salomo anak Daud, Raja
Israel (Mat 1:6) dan jika ditarik terus ke atas, sampailah pada
leluhur Mesias, yaitu Yahuda yang merupakan anak Yakub, anak Ishak,
anak Abraham, sebagai anak pewaris perjanjian kekal Yahweh dengan
keturunan Abraham. Sementara silsilah yang dilaporkan Lukas mengambil
garis dari Natan anak Daud yang lain (Luk 3:32), hingga sampai Avraham
dan terus sampai kepada Adam. Asal-usul kesukuan Yesus ditegaskan
kembali dalam Ibrani 7:14, “Sebab telah diketahui semua orang, bahwa
(Junjungan Agung) kita berasal dari suku Yahuda dan mengenai suku itu
Moshe tidak pernah mengatakan suatu apa pun tentang imam-imam”.
Kedua, gaya berpakaian yang mencirikan seorang Yahudi. Dilaporkan dalam Matius 9:20, “Pada
waktu itu seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya
menderita pendarahan (zavat dam) maju mendekati Yahshua dari belakang
dan menjamah jumbai jubah-Nya”. Apa yang dimaksudkan dengan “jumbai
jubah-Nya?” Itulah ujung tepi jubah dimana terikat Tsit-tsit yang
mencirikan seorang laki-laki Yahudi berpakaian. Kita tidak tahu apakah
perempuan ini seorang Yahudi atau non Yahudi, namun nubuatan Zakaria
secara tidak langsung genap dalam diri Yesus.
Ketiga,
Mengalami prosesi Brit Millah atau Sunat pada hari ke delapan, sesuai
Torah, sebagai bagian dari tanda fisik perjanjian antara keturunan
Avraham dengan YHWH Semesta Alam. Lukas 2:21-24 melaporkan, “Dan ketika
genap delapan hari dan Dia harus disunatkan, Dia diberi nama Yesus,
yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Dia dikandung ibu-Nya.
Dan ketika genap waktu pentahiran , menurut Torah Musa, mereka membawa
Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Yahweh, seperti ada
tertulis dalam Torat YHWH: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Tuhan",
dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam
Torat YHWH, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung
merpati.
Keempat,
mengalami prosesi Bar Mitswah dalam Lukas 2:41-52, di mana Yahshua
mulai muncul pada usia 12 tahun dan kemunculan di usia 12 tahun itu
dimulai di Bait Suci, saat kedua orang tuanya melaksanakan perayaan
tahunan Pesakh.
Kelima,
membaca Torah dan beribadah Sabat. Dikatakan dalam Lukas 4:16, ”Da
datang ke Nazaret tempat Dia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada
hari Sabat Dia masuk ke Sinagog, lalu berdiri hendak membaca dari
Gulungan Kitab”. Yesus melakukan Aliyah (menaikkan Torah) di Sinagog
Yahudi yang jatuh pada tiap hari Shabat.
Keenam,
melaksanakan Sheva Moedim atau Tujuh Hari Raya yang ditetapkan YHWH.
Sheva Moedim artinya Tujuh Hari Raya yang merupakan ketetapan Yahweh
(Imamat 23:1-44). Sheva Moedim bukan hanya merupakan perayaan panen,
namun suatu perayaan momentum perbuatan Yahweh bagi umat-Nya di masa
lalu serta perayaan yang bersifat propetik Mesianik. Nama ketujuh Hari
Raya tersebut adalah: Pesakh , Hag ha Matsah (Roti Tidak Beragi), Hag Sfirat ha Omer (Buah Sulung), Hag Shavuot (Pentakosta), Hag Rosh ha Shanah/Yom Truah (Tahun Baru/peniupan Sangkakala), Hag Yom Kippur (Pendamaian) dan Hag Yom Sukkot (Pondok Daun).
Dari ketujuh Hari Raya tersebut, ada tiga Hari Raya besar yang diperingati setiap tahun dengan berkumpul di Yerusalem, yaitu Pesakh, Shavuot dan Sukkot
(Ulangan 16:16-17). Kitab Perjanjian Baru (Brit ha Khadasha) mencatat
tiga perayaan penting tersebut dihadiri oleh Yesus, baik saat Yesus
mulai beranjak remaja maupun sudah mulai dewasa dan melakukan karya
Mesianik-Nya. Yesus menghadiri Perayaan Pesakh bersama kedua orang
tua-Nya (Luk 2:41-42). Yesus merayakan Sukkot bersama murid-murid-Nya
(Yoh 7:1-13).
Kesimpulan
apakah yang dapat kita peroleh setelah kita melakukan induktifikasi
data sebagaimana telah dilakukan di atas? Bahwasanya Yesus secara
genealogis antropologis dan sosiologis merupakan seorang Yahudi sejati
dan Dia berkarya dalam kultur Yahudi dan bingkai Yudaisme.
Ibadah Kekristenan Awal Berakar Pada Yudaisme
Beberapa
tradisi liturgis dalam gereja Katholik, Orthodox dan Protestan,
sebenarnya berakar dari Yudaisme. Pdt. Theo Witkamp, Th.D., menjelaskan
dalam artikelnya, “Mazmur-Mazmur Kekristenan Purba Dalam Konteks Yahudi Abad Pertama”, sbb: “Gereja
Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Oleh karena itu, kalau
kita ingin tahu tentang asal-usul dan latar belakang ibadah Kristen
awal, kita terutama harus memandang kebiasaan-kebiasaan liturgis dan
musikal dari agama Yahudi pada Abad Pertama Masehi”[6]
Dalam perkembangannya, akibat suasana Anti Semit yang berkembang kuat di luar Yerusalem, Gereja dari kalangan non Yahudi (Christianos, Kis 11:26) mulai melepaskan diri dari lingkungan Yudaisme dan Gereja dari kalangan Yahudi (Netsarim, Notsrim, Nazoraios,
Kis 24:5,11). Ketika Gereja non Yahudi berkembang di luar Yerusalem,
khususnya di Roma dan seluruh wilayah jajahannya dan berkembang sampai
Eropa, maka Gereja mulai mengembangkan liturginya yang melepaskan banyak
unsur-unsur dalam Yudaisme dan Keyahudian.
Nelly Van Doorn-Harder, MA., dalam artikel berjudul “Akar-Akar Keyahudian Dalam Liturgi Kriste, mengatakan: “Bila
Liturgi Protestan dilihat sebagaimana yang ada sekarang, sulit
dibayangkan bahwa akar dari semua kehidupan liturgis Kristen, dapat
ditemukan dalam Liturgi Yahudi. Karena memang Yesus adalah
seorang Yahudi. Ia selalu mengutip dan menggunakan cerita-cerita,
tema-tema dan simbol-simbol dari Perjanjian Lama. Perayaan-perayaan
perjamuan kudus dan rumusan doa sehari-hari gereja purba diambil dari
cara Yudaisme…Proses melupakan warisan keyahudian ini, berawal dari
pengajaran mengenai amanat Kristen di luar tanaah asalnya sendiri, tanah
Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini dikontekstualisasikan dengan cara menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat Yunani”[7].
Fakta
penting pertama dari penjelasan Nelly Van Doorn-Harder adalah
bahwasanya berbagai liturgi Kekristenan merupakan WARISAN yang BERAKAR
dari Yudaisme, dimana Yesus Sang Mesias pun menggunakannya dalam ibadah
harian (tefilah) maupun sabat di Sinagog-Sinagog Yahudi di Yerusalem.
Selanjutnya Nelly mengatakan: “Reformasi
Protestan memiliki tujuan untuk kembali kepada tradisi-tradisi Kristen
yang murni. Sayangnya, pada zaman para reformator, terdapat sedikit
informasi mengenai isi dari tradisi Kristen ini. Dalam kenyataan, yang
terjadi adalah para reformator bahkan membawa gereja keluar jauh dari
warisan aslinya karena mereka dipengaruhi oleh suatu budaya yang
berorientasikan ilmu pengetahuan sebagai hasil Renaisance. Sehingga
keaslian sikap Kristen Yahudi yang senantiasa berdialog secara konstan
dengan (Tuhan) yang penuh simbol dan misteri, sama sekali hilang dari
kehidupan liturgi protestan dan diganti oleh penekanan ala Protestan,
yakni doktrin”[8]
Cara
Gereja mula-mula dalam beribadah tetap mengikuti tradisi Yudaisme,
meskipun dikemudian hari dikembangkan sesuai dengan keyakinan terhadap
Yesus sebagai Mesias. Rashid Rahman mengatakan, “Praktek ibadah
harian gereja awal dilatarbelakangi oleh praktek ibadah harian Yudaisme
hingga abad pertama. Latar belakang tersebut dapat berupa kontinuitas,
diskontinuitas atau pengembangan dari ibadah Yudaisme”[9] Selanjutnya dikatakan, “Gereja
awal tidak memiliki pola ibadah tersendiri dan asli. Mereka beribadah
bersama dengan umat Yahudi dan kemudian mengambil beberapa ritus Yahudi
untuk menjadi pola ibadah harian”[10]
Fakta
ini membawa kita pada pemahaman bahwa para reformator tidak menguasai
hakikat liturgi Yudaisme dan mengabaikan peran penting liturgi sebagai
suatu bentuk tata ibadah yang hidup antara umat dan Tuhanya, dan
menitik beratkan pada doktrin.
Penjelasan Nelly berikutnya yang tidak kalah menarik untuk kita simak: “…melupakan
akar-akar keyahudian, memberikan konsekuensi-konsekuensi serius
terhadap kehidupan liturgi Kristen. Bila orang-orang Kristen tidak lagi
memahami arti sepenuhnya latar belakang keyahudian dalam kehidupan
liturgi mereka, kontroversi-kontroversi seperti yang ada dalam
interpretasi mengenai perjamuan kudus, mulai nampak diantara orang-orang
Kristen. Akibat dari kontroversi-kontroversi ini adalah munculnya perpecahan-perpecahan dan aliran-aliran dalam gereja”[11].
Fakta ketiga yang teramat penting, bahwa terputusnya Kekristenan
reformasi yang melahirkan gereja-gereja beraliran Lutheran, Calvinis,
Baptis, Menonit, Moronite, dalam menerapkan tradisi tata ibadah warisan
Yudaiknya, telah menyebabkan berbagai PERPECAHAN DENOMINASI. Padahal,
pada mulanya para pengikut Mesias di Abad I Ms beribadah di sinagog,
menggunakan tata ibadah Yudaik serta doa-doa Yudaik, namun dikarenakan
ketidak mengertian Kekristenan terhadap akar-akar Yudaiknya,
mengakibatkan timbulnya perpecahan dan berbaga penafsiran gereja-gereja
reformasi yang bertumbuh di Eropa, Amerika dan Afrika serta Asia,
terhadap tata ibadah Kekristenan yang mula-mula.
Beberapa
denominasi Kristen non Orthodox, Katholik, Protestan seperti
Pentakostal dan Kharismatik, melepaskan diri dari suatu keterikatan
terhadap liturgi dalam beribadah. Liturgi dipandang sebagai suatu
kebekuan dalam beribadah.
Sikap-sikap
negatif terhadap liturgi dalam ibadah, sebenarnya dikarenakan
ketidakmengertian hakikat dan makna liturgi dalam kehidupan ibadah
Gereja pada awal pertumbuhannya.. Van Olst mengatakan sbb:
“Liturgi,
seperti yang ditekankan oleh Cromphout dalam bukunya tentang Kitab
Wahyu, adalah ‘mengaku dan menyanyi di hadirat (Tuhan) bahwa ada
keselamatan; dan mengatakan bahwa Dia sajalah penguasa asas segala
sesuatu dan dengan demikian mematahkan daya tarik dunia dan
kekuatannya. Tata cara (setting) liturgis ini pada saat yang sama,
membentuk relevansi praktis dari Kitab Wahyu….Pasal 5 menerangkan
tentang suatu peristiwa/kegiatan liturgis yang akbar. Keempat mahluk itu
dan dua puluh empat tua-tua menyanyikan satu lagu baru (ayat 9)
diikuti dengan suatu puji-pujian agung untuk Sang Anak Domba – lagu
pujian yang dikenakan dengan relevansi politis yang besar karena
kekuasaan dari sang kaisar secara jelas diberikan kepada Sang Anak
Domba. Dalam hal ini, sama seperti dalam pasal sebelumnya, kita
menyaksikan bagaimana liturgi itu dirayakan di sorga - oleh para
malaikat, keduapuluh empat tua-tua itu, orang-orang suci, keempat
mahluk hidup itu secara singkat, oleh segenap ciptaan (keempat mahluk
hidup itu mewakili kosmos)[12]
Dari
penjelasan Van Olst, kita melihat bahwa Liturgi berakar bukan hanya
dari Yudaisme dan Sinagoga, melainkan berakar dari Kitab Suci. Bahkan
liturgi adalah suatu percakapan yang hidup dan interaktif di Sorga.
Komunitas orang beriman kepada Yesus Sang Mesias, memiliki beberapa karakteristik khas sbb: Keyakinan terhadap Torah:
Sebagaimana pada umumnya orang-orang Yahudi yang mendasarkan pada
TaNaKh, demikianlah pengikut Mesias di Abad 1 Ms. Mereka tetap
memelihara Torah sebagaimana dilaporkan dalam Kisah Rasul 21:20 sbb: “Mendengar
itu mereka memuliakan (Tuhan). Lalu mereka berkata kepada Paulus,
Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan
mereka semua rajin memelihara Torah”.
Berbeda
dengan keyakinan Kekristenan pada umumnya yang menyatakan bahwa Torah
tidak berlaku dan diganti dengan hukum Kasih, maka umat Perjanjian Baru
justru memelihara Torah bahkan dengan “rajin”. Dalam terjemahan versi New Revised Standard Version dituliskan: “When they heard it, they praised God. Then they said to him, “You see, brother, how many thousands of believers there are among the Jews, and they are all zealous for the law”. Kata “zealous” bermakna “sungguh-sungguh”.
Bahkan bangsa non Yahudi yang percaya pada Mesias menerima
pemberlakuan peraturan untuk tidak memakan makanan yang dipersembahkan
pada berhala, tidak memakan daging hewan yang mati dicekik serta tidak
memakan darah (Kis 15:20).
Tempat Ibadah:
Mereka beribadah di Sinagog. Tidak dikenal istilah Gereja atau gedung
gereja. Pusat peribadahan di Bait Suci Yerusalem dan berbagai sinagog
sebagai tempat peribadahan lokal dan pengajaran. Sebagaimana Yahshua
mengajar di Sinagog (Luk 4:16), maka para rasul Yesus pun beribadah dan
mengajar di Sinagog (Kis 13:14, Kis 14:1). Lembaga Alkitab Indonesia
terkadang menerjemahkannya menjadi “rumah ibadat”, sehingga mengurangi makna sesungguhnya yang dimaksudkan oleh ayat secara historis. Dalam Kisah Rasul 14:1 disebutkan “rumah ibadat” padahal dalam teks Yunani dituliskan Sunagoge. Demikian pula dalam Yakobus 2:2 kata “tempat kumpulanmu”, seharusnya diterjemahkan Sinagog.
Pola Ibadah:
Jika kita memperhatikan berbagai tata ibadah kekristenan masa kini,
kita akan dibinggungkan oleh berbagai ragam warna tata peribadahan. Ada
yang menggunakan liturgi, ada yang anti liturgi, ada yang melaksanakan
peribadahan dengan tanpa peraturan sama sekali dan mengklaim dipimpin
Roh Kudus, dll. Namun di Abad 1 Ms, sebagaimana sekte Nazarene atau
Pengikut Jalan Tuhan atau Christianoi merupakan “sekte Yudaisme”, maka
berbagai tata ibadah tidak jauh berbeda dengan yang dilaksanakan oleh
penganut Yudaisme Abad 1 Ms, namun dengan pemahaman yang baru, yaitu
dilandasi kematian dan kebangkitan terhadap Mesias. Tata peribadahan
dilandasi oleh pemahaman Mesias yang telah datang, Mesias yang mati di
kayu salib dan bangkit pada hari yang ketiga serta mengalahkan maut.
Adapun tata ibadah pengikut Mesias sbb :
Tefilah:
Tefilah bermakna berdoa. Namun pengertian tefilah dalam Yudaisme bukan
hanya sekedar ucapan spontan kepada Tuhan yang berisikan permohonan.
Tefilah meliputi waktu-waktu tertentu dalam menghadap Tuhan dan dengan
diiringi sikap tubuh yang tertentu. Kitab Suci memberi petunjuk
mengenai tefilah yang meliputi :
Waktu-waktu yang tertentu.
Waktu doa harian Yudaisme terdiri dari Shakharit, Minha dan Maariv.
Pola ibadah ini merujuk pada waktu peribadahan di Bait Suci (Kel
29:38-42; Bil 28:1-8). Nabi-nabi dan raja-raja di Israel kuno
melaksanakan tefilah harian sbb :
- Daud (Mzm 55:17)
- Daniel (Dan 6:11)
- Ezra (Ezr 9:5)
- Yesus Sang Mesias(Luk 6:12)
- Petrus dan Yohanes (Kis 3:1)
- Petrus dan Kornelius (Kis 10:3,9)
Sikap tubuh yang tertentu. Beberapa petunjuk mengenai berbagai sikap atau postur tubuh yang tertentu al :
- Berdiri (Ul 29:10, , Mzm 76:8)
- Bersujud (Mzm 96:9, Mat 26:39)
- Berlutut (Mzm 95:6, Kis 20:36)
- Mengangkat kedua tangan (Rat 3:41; Mzm 134:2)
Shabat:
Sebagaimana Yesus mengajar di hari Sabat, demikianpula para rasul
merayakan Sabat dan mengajar, baik orang Yahudi dan non Yahudi (Kis
13:14, Kis 14:1).
Moedim:
Moedim bermakna hari-hari raya. Pengikut Mesias melaksanakan tujuh
hari raya yang diperintahkan dalam Imamat 23:1-44. sebagaimana Yesus
merayakan salah satu dari tujuh hari raya tersebut (Yoh 7:1-2,14)
demikianlah para rasul Yesus melaksanakan tujuh hari raya tersebut (Kis
2:1, Kis 20:16). Para rasul bukan hanya memelihara berbagai perayaan
tersebut namun juga menghubungkan berbagai makna peristiwa tersebut
dengan peristiwa yang dialami Mesias (1 Kor 5:7-8, 1 Kor 15:22-23, 1
Tes 4:16). Tujuh hari raya tersebut menunjuk pada Mesias Yesus (Kol
2:17).
Tsedaqah:
Para murid Yesus memperhatikan terhadap kebutuhan janda-janda, anak
yatim dan saudara-saudara seiman yang berkekurangan. Paul mengajak
jemaat di Korintus untuk mengumpulkan persembahan kepada jemaat di
Yerusalem yang berkekurangan (1 Kor 16:1-4, 2 Kor 9:1-5).
Memecah Roti Shabat: Pengertian “memecah roti” telah terdistorsi dengan konsep Ekaristi
dalam gereja Roma Katolik, yaitu memakan hosti yang dianggap sebagai
tubuh sejati Yesus. Tradisi “memecah roti” yang dipelihara oleh para
murid dalam berbagai pertemuan kerohanian, entah dihari sabat (Kis 20:7)
atau dihampir setiap pertemuan diluar sabat (Kis 2:42), merupakan
perluasan makna dari Seder Pesakh yang dilaksanakan setiap tanggal 14
Nisan dalam setiap keluarga Yahudi. Roti yang dipakai merupakan roti
tidak beragi (matzah) dan bukan wafer atau roti yang beragi sebagaimana
yang dipahami oleh kekristenan pada umumnya. Seder Pesakh bukan hanya
merupakan peringatan terhadap terbebasnya Israel dari perbudakan Mesir
namun menunjuk pada Mesias yang membebaskan umat Israel dan umat manusia
dari perbudakan dosa (Yoh 13:21-30, Luk 22:7-14,21-23). Rasul Paul
secara mendalam menjelaskan makna teologis memecah roti dalam 2 Korintus
11:17-34.
Bertekun dalam Pengajaran Rasul-rasul:
Letak kekuatan dan kesatuan pengikut Mesias di Abad 1 Ms dikarenakan
mereka selalu bertekun dalam pengajaran, persekutuan, doa dan memecah
roti (Kis 2:41-42). Ketika para rasul masih hidup, berbagai persoalan
yang terjadi dipecahkan secara konsensus dengan dilandasi doa (Kis
15:1-21) dan para rasul berkonsentrasi dalam mengajar dan mendidik umat
(Kis 6:1-4).
Kegiatan Pekabaran Injil: Pengikut Mesias yang disebut Pengikut “Jalan Tuhan” atau “Nazarene”
memiliki kerinduan untuk memberitakan Kabar Baik di seluruh Yerusalem
dan luar Yerusalem (Kis 8:4-5,25,40). Bahkan setelah Saul dipanggil
menjadi Rasul, dia dipakai oleh Yesus untuk menjadi Rasul non Yahudi
(Gal 1:15-16).
Kekristenan Tercerabut Dari Akar Semitik-Yudaik
Abad
ke-II Ms, merupakan suatu era titik balik dalam sejarah gereja.
Terjadi perpindahan dari teologi Palestina yang kongkrit menuju Teologi
Greek yang abstrak[13]. Hal ini terjadi dikarenakan semakin banyaknya
bangsa non Yahudi yang menerima Mesias, oleh pemberitaan para rasul.
Dalam perkembangannya, gereja semakin menjauh dari akar ibrani. Realita
ini memuncak pada saat Kaisar Konstantin naik tahta menjadi Raja dan
mengubah status Kekristenan dari religio ilicita (agama yang tidak sah) menjadi religio licita (agama yang sah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 321 Ms bersamaan dengan dikeluarkannya Edik Milano,
dimana Kekristenan diubah menjadi agama negara dan orang-orang Kristen
Roma diberi kebebasan penuh dalam melaksanakan peribadahan[14].
Semenjak Konstantin dan seterusnya, gereja non Yahudi semakin menjauh
dari akar Ibrani bahkan cenderung membenci keberadaan Yahudi,
sebagaimana dikatakan oleh sejarawan David Rausch, “The Gentile Church claimed to be the true Israel and tried to disassociate itself from the Jewish people early in its history”[15]
(Gereja non Yahudi mengklaim menjadi Israel yang benar dan mencoba
untuk memutus dirinya dari masyarakat Yahudi dalam sejarahnya).
Sejak
Abad Kedua inilah terjadi berbagai perubahan dalam tubuh Kekristenan
dimana berbagai hal diadopsi dalam konsep keimanan dan tata peribadatan
sehingga menjauhkan dari aspek keimanan dan peribadatan yang asli.
Kita akan sebutkan beberapa saja.
Perpindahan Sabat ke Minggu
Peribadatan
terhadap dewa Matahari sangat sukar dihilangkan dari kehidupan gereja
non Yahudi khususnya Roma sehingga berbagai unsur peribadatan terhadap
dewa Matahari masih saja dapat ditemukan dalam peribadatan Kristen.
Pada tahun 321, dia mengeluarkan ketetapan yang disebut Edik Milano sbb: "pada
saat hari Matahari yang diagungkan, biarlah para pegawai pemerintah
dan rakyat beristirahat di kota-kota dan hendaklah semua toko-toko
ditutup. Namun demikian, di kota dimana masyarakat sibuk dalam
pertanian, dibebaskan dan diijinkan untuk melanjutkan kegiatannya;
sebab hal itu hanya dapat dilaksanakan pada hari itu dan tidak dapat
pada hari lain untuk menebar benih atau menanam anggur. Dengan
mengabaikan waktu yang tepat untuk bekerja, maka rahmaat surgawi akan
hilang"[16]. Harry R. Boer memberi komentar terhadap keputusan dalam Edik Milano sbb: It
is noteworthy that Constantine did not relate his legiaslation to
Christian practice or to the Fourth Commandement. He designated Sunday
by its traditional pagan name, the Day of the Sun, not the Shabath or
the Day of the Lord. Pagans could therefore accept it. Christians gave
the natural sun a new meaning by thinking of Christ the Sun of
Rigteousness"[17] (Patut dicatat baahwasanya Konstantin
menghubungkan ketetapannya, tidak berhubungan dengan ibadah Kristen atau
Hukum yang keempat dari Sepuluh Hukum. Dia menghubungkan hari Minggu
melalui nama kekafiran yang secara tradisional disebut Hari Matahari,
bukan Hari Sabat atau Hari Tu(h)an. Orang-orang kafir selanjutnya dapat
menerima hari itu. Orang-orang Kristen memberikan tabiat matahari
dengan makna baru dengan menghubungkan Mesias sebagai Matahari
Kebenaran).
Samuele Bacchiocchi mengatakan: "The
Roman Sabbath fast was instituted solely to obliterate the real
Sabbath day, discourage anyone from keeping it, further denigrate the
despised Jews and take over from the Jews the position of the sole
representation of God on earth. It is also clear from this writing that
Sunday was already being observed as the day of worship in Rome which
means the Western churches. Sources tell us the church of Orient at
Milan and in Africa wouldn't follow the Roman lead in fasting on the
Sabbath because of their veneration for that day"[18] (Hari puasa
Sabat orang-orang Roma, ditetapkan hanya semata-mata untuk membuang
hari Sabat yang sebenarnya, merendahkan siapapun yang memeliharanya
selanjutnya menghina orang-orang Yahudi yang dipandang rendah dan
mengambil dari orang-orang Yahudi, suatu tempat yang mewakili kehadiran
Tuhan di bumi ini. Adalah jelas bahwa dari tulisan ini bahwa Hari
Minggu telah dipelihara di Roma, yang dimaksud adalah Gereja Barat.
Berbagai sumber mengatakan bahwa Gereja Timur di Milan dan Afrika tidak
merayakan hari yang dimuliakan itu).
Perubahan
dari Sabat menjadi Minggu ini lebih didasarkan pada keputusan daripada
ketetapan dalam Kitab Suci sebagaimana diakui oleh Archbishop dari
Regio dalam Konsili Trente pada tahun 1562 yang menyatakan sbb: “Wewenang
gereja terhadap penetapan tersebut tidak ditemukan dalam Kitab Suci,
karena gereja telah berubah...Sabat ke Minggu bukan berdasarkan
perintah Mesias melainkan atas dasar otoritasnya”[19]
Saat Konsili Laodikea tahun 336 pada kanon 29 ditetapkan demikian, “Jika
memungkinkan sebagai orang Kristen, bahwa orang-orang Kristen tidak
harus di Yudaisasi dengan beristirahat pada hari Sabat melainkan tetap
bekerja pada hari itu terkecuali pada Hari Tu(h)an dengan jalan
beristirahat”[20]. Demikian pula Bishop Eusebeius (270-338
Ms) yang bekerja bersama Konstantin mengakui bahwa gereja telah
mengambil keputusan untuk mengubah Sabat ke Minggu sebagaimana dia
katakan dalam bukunya Commentary on the Psalms sbb: “Apapun yang berkaitan dengan kewajiban pada hari Sabat telah diganti kepada Hari Tu(h)an”[21]
Perayaan Christmass 25 Desember
J.I.
Packer mengulas mengenai ketidakmungkinan bahwa Mesias lahir pada Tgl
25 Desember, meskipun dia menyatakan tidak tahu persis kapan tanggal
dan bulan kelahiran Mesias. Selengkapnya dia berkata: “Kita tidak
tahu persis tanggal dan bulan kelahiran Yesus. Tanggal 25 Desember
hampir tidak mungkin. Pada abad kedua atau ketiga, gereja di Roma
memilih tanggal tersebut sebagai hari perayaan kelahiran-Nya dengan
maksud untuk mengaburkan suatu hari raya besar dari orang kafir yang
biasa dilaksanakan pada tanggal tersebut. Sebelumnya gereja Ortodoks
Timur telah memilih tanggal 6 januari, Epifani sebagai tanggal perayaan
kelahiran Yesus. Akan tetapi mengapa harus memilih tanggal yang jatuh
pada musim dingin, padahal pada musim demikian para gembala tidak mau
lagi membawa domba-domba mereka ke lereng-lereng bukit? Karena itu,
waktu yang lebih mungkin dari kelahiran Yesus adalah dalam musim gugur
atau musim semi”[22]
Mengubah Kiblat dari Barat ke Timur
Peribadatan
Yudaisme yang diteruskan oleh pengikut Mesias awal tetap mengarahkan
diri menuju Yerusalem sebagaimana perintah berikut ini:
“Demi
didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke
rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah
Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya,
seperti yang biasa dilakukannya” (Daniel 6:11).
“Tetapi
aku, berkat kasih setia-Mu yang besar, aku akan masuk ke dalam
rumah-Mu, sujud menyembah ke arah bait-Mu yang kudus dengan takut akan
Engkau” (Mazmur 5:8) .
“Aku
hendak sujud ke arah bait-Mu yang kudus dan memuji nama-Mu, oleh
karena kasih-Mu dan oleh karena setia-Mu; sebab Kaubuat nama-Mu dan
janji-Mu melebihi segala sesuatu” (Mazmur 138:2)
Klemen dari Alexandria (150-215 Ms) dalam bukunya Protrepticus dan Stromateis serta Pedagogus
menyatakan bahwa Yesus adalah matahari yang sejati. Langkah ini
diikuti oleh Origen dan Cyprian[23]. Konsekwensi logisnya peribadatan
dengan menghadap arah matahari terbit diadopsi oleh kekristenan di
Roma. F.J. Dolger dalam bukunya Sol Salutis mengutip beberapa
tulisan Origen dan Klement yang mendasari peribadatan menghadap ke
Timur dengan menggunakan dalil-dalil Kitab Suci yang terlalu dipaksakan
dengan cara melakukan alegorisasi atau pemaknaan simbolis atas Mazmur
132:7, Yesaya 9:2, 2 Korintus 4:6, Matius 4:6. Origenes pun melakukan
alegorisasi yang sama terhadap Zakharia 6:12 berdasarkan naskah
Septuaginta yang menerjemahkan secara keliru kata Ibrani Tsemakh (tunas) dengan kata Anatole (timur).
Yustinus Martir mengikuti pola penafsiran tersebut sehingga setiap ada
kata Anatole selalu dihubungkan dengan Mesias. Bahkan Mazmur 72:17 pun
dihubungkan dengan Mesias[24]. Ayat-ayat lain yang dipaksakan untuk
membenarkan peribadatan menghadap ke Timur al., Kejadian 2:8,Maleakhi
4:2, Matius 24:27, Mazmur 68:34[25]. Dan penulis-penulis Kristen seperti
Basilius, Gregorius dari Nyssa, John Chrisostomos, Severus, Cyrill
dari Yerusalem, Yohanes Damaskinos, Thomas Aquinas, dll[26].
Mendistorsi Seder Pesakh menjadi Last Supper
Membaca
perikop Lukas 22:14-23, tanpa memahami latar belakang sejarah dan
keagamaan serta kebudayaan Yahudi Abad 1 Ms akan membuat kita
kehilangan akar historis dan essensi dibalik peristiwa tersebut.
Kekristenan Barat menyebut peristiwa tersebut dengan Last Supper
(Perjamuan Terakhir). Seolah-olah Yesus Sang Mesias makan malam
terakhir sebelum Dia ditangkap oleh prajurit Romawi untuk dihukum,
disiksa dan disalibkan.
Peristiwa Yesus dan murid-murid-Nya makan Pesakh merupakan ritual tahunan tiap jatuh Tgl 14 Nisan yang di namakan Seder Pesakh. DR. David Stern menjelaskan, “Seder
adalah, Tata Cara, namun istilah ini menunjuk pada tata cara makan dan
perayaan yang dilaksanakan saat Pesakh. Hari ini, bagian-bagian dari
peristiwa Paskah, doa-doa, cerita dan berbagai hidangan yang dimakan
dipersiapkan dalam bentuk Haggadah (penceritaan) yang mengumpulkan
cerita Kitab Suci mengenai keluarnya Bangsa Israel dari Mesir dengan
tambahan-tambahan Rabinik. Banyak dari ciri-ciri dalam Seder Modern
tetap dilaksanakan dimasa hidup Yeshua”[27].
Penggunaan Istilah Tritunggal Mengantikan Keesaan Tuhan
Iman
Kristen merumuskan konsep Ketuhanan dengan sebutan Tritunggal atau
Trinitas. Rumusan dan istilah ini merupakan pengungkapan para Bapa
Gereja saat mereka harus mempertanggungjawabkan keimanan mereka terhadap
para filsuf kafir yang menentang kekristenan.
Abad
2 Ms merupakan perpindahan titik berat pola berteologia, dari teologia
Palestina yang kontemplatif, menjadi Teologia Hellenis yang
rasionalistik dan metafisik[28] Akibatnya, dibutuhkan suatu penjelasan
yang rasional kepada kaum pagan Yunani, mengenai realitas Tuhan. Bernhard Lohse memberikan komentar, “Karena
itu, sedikitpun tidak mengherankan bahwa gereja terkadang meraba-raba
dalam upayanya memformulasikan imannya secara intelrktual dan
konseptual kepada (Tuhan) Bapa, (Yesus Sang Mesias) dan Roh Kudus”[29].
Sejumlah teolog dan Bapa Gereja (Church Fathers) yang telah lebih
dahulu menggumuli persoalan relasi ontologis antara Bapa, Putra dan Roh
Kudus, adalah Yustinus martyr, Theophilus dari Anthiokhia, Adamatinus ,
Origenes, Arius, Athanisius, Agustinus serta Tertulianus.
Dari
sekian teolog yang merumuskan formula relasi intologis antara Bapa,
Putra dan Roh Kudus, adalah tertulianus. Beliau merumuskan dalam bentuk
ungkapan Yunani, Mono Ousia Tress Hypostasis atau dalam ungkapan Latin, Una Substantiae Tress Persona, yang jika diterjemahkan adalah, “Satu Keberadaan Tiga pribadi”.
Para teolog modern, berbeda pendapat menjelaskan istilah Pribad” (Yun : Hypostasis, Lat : Personae), secara berlainan dan tanpa penjelasan yang mendalam. Ada yang menamakan, “cara berada”, “oknum”, “pribadi[30]. Berangkat dari pluralisme pemahaman yang bertebaran disekitar istilah Hypostasis atau Pribadi, maka DR. Budyanto mengusulkan suatu peninjauan kembali terhadap penggunaan istilah “Pribadi” dengan mengatakan: “Karena
itu, menurut hemat penulis, kalau istilah ini pada akhirnya tidak
dapat dihindarkan lagi, sebaiknya pengertian yang dipakai untuk istilah
pribadi adalah, ‘suatu keberadaan sadar diri’ yang maknanya bisa
menampung pengertian-pengertian tersebut (cat: “pribadi”, “Cara Berada”,
“Tiga Subyektivitas dalam Unitas”, dll)… jika pengertian ‘pribadi’ itu
seperti itu, maka pengertian pribadi yang dipakai sebagai bukti
(ketuhanan) seperti diatas adalah tidak tepat, sebab kata pribadi itu
justru dipakai untuk menunjukkan kekhususan dari sifat masing-masing,
bukan kesamaan sifat”[31].
Hampir semua teolog mengakui bahwa istilah Trinitas/Tritunggal,
tidak terdapat secara literal dalam Kitab Suci. Namun essensi yang
mengarah pada pengertian tersebut memang terpampang dalam banyak ayat.
DR. Andar Tobing, mengakui kenyataan tersebut dan mengatakan:
“kita
terpaksa memakai istilah Trinitas itu untuk menolak adjaran-adjaran
dan pendapat-pendapat yang salah dan bertentangan dengan isi Alkitab.
Biarpun istilah itu tidak sempurna…”[32].
Emil Bruner dalam bukunya The Christian Doctrine of God mengatakan:"The
doctrine of the Trinity itself, however, is not a Biblical doctrine...
It is the product of theological reflection upon the problem... The
ecclesiastical doctrine of the Trinity is not only the product of
genuine Biblical thought, it is also the product of philosophical
speculation, which is remote from the Bible"[33] (doktrin Trinitas
pada dirinya sendiri tidak berasal dari Kitab Suci...istilah ini
merupakan produk refleksi teologi terhadap suatu problem...doktrin
gereja mengenai Trinitas bukan hanya hasil pemikiran yang tidak
berdasarkan Kitab Suci namun juga hasil pemikiran spekiulasi filsafat
yang jauh dari Kitab Suci).
Sebenarnya
para Bapa Gereja tidak memaksudkan berbicara mengenai “keberapaan
Tuhan” dalam rumusan Trinitas melainkan “kebagaimanaan Tuhan”. Artinya
relasi ontologis Bapa, Anak, Roh Kudus yang setara, sehakikat,
sederajat dalam keilahian. Namun dikarenakan menggunakan bahasa
filsafat yang terkait dengan para penyerang konsep Ketuhanan iman
Kristen yang juga menggunakan dalil Filsafat, maka berbagai penjelasan
yang diberikan justru menjauhkan umat dari pemahaman yang benar tentang
Tuhan. Apalagi dengan melepaskan bingkai tradisi Semitik Yudaik dalam
memahami Ketuhanan mengakibatkan konsep mengenai Tuhan yang semakin
abstrak dan spekulatif[34].
Demikianlah
gambaran singkat perihal awal latar belakang Semitik Yudaik dari
Kekristenan dan distorsi yang terjadi belakangan. Sayangnya penjelasan
Rizki Ridyasmara melalui mulut DR. Grant, pakar simbologi dari
Universitas Geoge Washington dalam novelnya hanya memberikan pernyataan
menyudutkan yang dapat menimbulkan keraguan terhadap iman Kristen. Dan
sudah banyak komunitas Kristen yang menyadari fakta-fakta ini dan
melakukan berbagai redefinisi sejarah dan dogma serta devosi atau tata
peribadatan.
Apakah Konsili Nicea Membuang Eksistensi Kitab-Kitab Non Kanonik?
“Anggel, tahukah kamu apa yang dikatakan Yesus ketika dia disalib?’
, ‘Eli...Eli...Lama Sabakhtani...,Tuhanku...Tuhanku...Jangan Engkau Tinggalkan aku...’
“Ya,
itu menurut Injil Matius. Sedangkan Injil Markus menulis, ‘Eloi!
Eloi...’ yang artinya sama. Menurut versi resmi, Injil kanonik yang
disahkan oleh Konstantine dalam Konsili Nicea 325 Masehi, memang
demikian”
“Memang ada versi yang tidak resmi? Lagi-lagi ada versi lainnya”
“Ada...”
“Apa itu...?”
Sebelum
Konsili Nicea yang hanya mensahkan empat injil, ada duaratusan Injil
tersebar di Roma dan sekitarnya. Injil-injil yang dikalahkan dan
kemudian dianggap terlarang setelah konsili itu menyatakan hal yang
sama sekali berbeda tentang Yesus dan juga tentang Kekristenan. Salah
satunya tentang apa yang dikatakan Yesus ketika disalib. Sejarah telah
menyatakan jika Yesus berbahasa Aramaik dalam keseharian. Jadi jika dia
memanggil ‘Tuhanku’ seharusnya dia memanggil ‘Ilahi’, hampir sama
dengan bahasa Arab. Dan bagi sebagian penelaah Alkitab, ketika Yesus
disalib dia tidak berteriak ‘Tuhanku, Tuhanku, jangan tinggalkan aku’,
melainkan ‘Helios, Helios...’, jadi dia sebenarnya memanggil Dewa
Matahari. Ini tentunya versi para penyembah matahari itu”[35]
Pernyataan
DR. Grant di atas menggemakan kembali pernyataan tokoh Leigh Teabing
dalam novel Dan Brown yang berjudul Da Vinci Code. Teabing mengatakan, “Konstantin
menitahkan dan membiayai penyusunan sebuah Alkitab baru, yang
meniadakan semua ajaran yang berbicara tentang segala perilaku
manusiawi Kristus, serta mamasukkan ajaran-ajaran yang membuatnya
seakan Tuhan. Injil-injil terdahulu dianggap melanggar hukum lalu
dikumpulkan dan dibakar”[36].
Pernyataan-pernyataan
di atas yang diwakili tokoh DR. Grant (tokoh fiktif khayalan Rizki
Ridyasmara) dan Leigh Teabing (tokoh fiktif khayalan Dan Brown)
menimbulkan dugaan bahwa (1) Konsili-konsili yang diadakan gereja
bertujuan melantik Ketuhanan Yesus dari kedudukannya sebagai manusia
dan nabi biasa (2) Menyeleksi dan membakar kitab-kitab yang tidak
mendukung Keilahian Yesus.
Tuduhan
yang kerap dilontarkan terhadap Kekristenan oleh kalangan liberal dan
gnostik modern, bahwa baik doktrin Ketuhanan Yesus dan Roh Kudus, baru
ditetapkan pada konsili-konsili gereja, terutama Konsili Nicea (325 M)
dan Konsili Konstantinipel (381 M). Benarkah tuduhan ini? Marilah kita
pahami terlebih dahulu beberapa ringkasan konsili-konsili yang telah
berlangsung beratus-ratus tahun yang lalu.
Mengenai Konsili dan Status Keilahian Yesus
Ada
tujuh konsili yang sudah berlangsung disekira Abad II-VIII Ms dan tiga
diantaranya yang terkenal adalah Konsili Nicea, Konsili Konstantinopel
dan Konsili Efesus. Secara ringkas hasil dari tujuh konsili tersebut
al., Konsili pertama diadakan oleh Kaisar Romawi, Konstantin di
Nicea pada tahun 325 dengan hasil, mengutuk pandangan Arius yang
menyatakan bahwa Sang Putra Tuhan, adalah ciptaan yang lebih rendah
dari Bapa. Konsili kedua dilaksanakan di Konstantinopel pada
tahun 381 yang menetapkan tabiat Roh Kudus terhadap mereka yang
menentang kesetaraan Roh dengan pribadi Bapa maupun Putra. Konsili ketiga dilaksanakan
di Efesus pada tahun 431 yang menetapkan bahwa Maria benar-benar “Yang
melahirkan” atau “Bunda Tuhan” (Theotokos), yang menentang ajaran
Nestorius. Konsili keempat diadakan di Kalsedon pada tahun 451
yang menetapkan bahwa Yesus sesungguhnya Tuhan sekaligus manusia
seutuhnya, tanpa percampuran dua tabiat-Nya, untuk menentang pengajaran
Monophisit (ajaran satu tabiat Yesus). Konsili kelima merupakan
Konstantinopel kedua yang dilaksanakan pada tahun 553 dengan
menafsirkan ketetapan Khalsedon serta penjelasan mengenai dua tabiat
Yesus; juga mengutuk pengajaran Origen mengenai pra ada jiwa sebelum
diciptakan, dll. Konsili keenam dilaksanakan di Konstantinopel
pada tahun 681 yang menyatakan bahwa Mesias memiliki dua kehendak dari
dua tabiat, kemanusiaan dan Ketuhanan, untuk melawan ajaran Monothelit. Konsili ketujuh
dilaksanakan pada tahun 787 dibawah perintah Kaisar wanita bernama
Irene. Konsili ini dikenal sebagai Nicea kedua. Konsili ini menegaskan
penggunaan dan pemuliaan ikon-ikon (lukisan, patung) namun juga melarang
penyembahan kepada ikon-ikon serta membuat patung-patung tiga dimensi.
Konsili ini sebaliknya menyatakan mengenai konsili yang paling awal
yang menyatakan dirinya sebagai konsili ekumenis ketujuh dan menghapus
statusnya. Konsili yang paling awal memelihara iconoclast
adalah Kaisar Konstantin V. Konsili ini dihadiri lebih dari 340 bishop
di Konstantinopel dan Hieria pada tahun 754 yang menyatakan bahwa
pembuatan ikon mengenai Yesus atau orang-orang suci merupakan suatu
pelanggaran terutama bagi alasan Kristologis.
Apakah
ketujuh konsili dan terutama ketiga konsili (Nicea, Konstantinoel dan
Efesus) yang menetapkan mengenai Ketuhanan dari Yesus? Sebenarnya
ketujuh konsili ini, terutama ketiga konsili yang menetapkan status
mengenai hakikat Yesus hanyalah RESPON terhadap persoalan yang
dimunculkan kaum bidat yang merendahkan hakikat Yesus dengan menganggap
manusia ciptaan belaka. Selain itu, konsili-konsili ini MENEGASKAN
ulang mengenai sikap mereka terhadap hakikat Yesus sebagai Sang Firman
yang tidak diciptakan yang berdiam bersama Bapa Yang Kekal yang dalam
kurun waktu tertentu menjadi manusia oleh Kuasa Roh Kudus (Yoh 1:1,14,
Mat 1:18). Meskipun patut diakui bahwa dalam berbagai perumusan dalam
konsili ini terkontaminasi dengan berbagai pendekatan dan
istilah-istilah filsafat platonik Yunani, yang melahirkan
pernyataan-pernyataan teologis yang abstrak, namun konsili-konsili ini
bukan bermaksud menaikkan derajat Yesus dari manusia belaka menjadi
Tuhan atau menuhankan manusia Yesus.
Mengenai Konsili dan Eksistensi Kitab Ekstrakanonik/Non Kanonik
Selama
Abad ke-III Ms, Origenes sebagaimana Klement dari Alexandria
berhadapan dengan masalah tidak adanya batasan tetap diantara apa yang
disebut daftar kitab yang disebut Kanon dan daftar kitab yang disebut
Non Kanon, oleh gereja. Dia menyusun kategori tulisan-tulisan Kristen
dengan istilah-istilah sbb: (a) anantireta (tidak ditolak) atau homologoumena (diakui), yang dipergunakan secara umum oleh komunitas Kristen pada waktu itu, (b) amphiballomena (diperdebatkan), yang masih diperdebatkan kelayakannya, dan (c) psethde (keliru), termasuk buku-buku yang dikategorikan pemalsuan dan menyimpang.
Klasifikasi ini diperbarui oleh Eusebius dari Kaisarea selama Abad ke-IV Ms dengan sebutan (a) Homologoumena (diakui), (b) Antilegomena (diperdebatkan), yang terbagi dua kategori lagi yaitu Gnorima (dikenal), karena banyak orang-orang Kristen mengakuinya dan Notha (tidak sah), karena dianggap sebagai tidak asli serta (c) Apocrypha
(tersembunyi), yang dianggap sebagai kepalsuan. Kategori-kategori
tersebut akhirnya ditetapkan menjadi empat istilah baku yaitu : (a) Homologoumena, daftar kitab yang diterima oleh hampir sebagian besar orang-orang (b) Antilegomena, buku yang diperdebatkan oleh beberapa orang (c) Pseudoepigrapha, daftar kitab yang oleh gereja dianggap tidak asli dan ditolak serta (d) Apocrypha, buku yang dianggap oleh beberapa orang sebagai kanonik dan semi kanonik[37]
Berkaitan dengan daftar kitab-kitab yang diistilah kelak dengan Perjanjian Baru yang meliputi Homologumena
adalah daftar kitab yang telah diterima oleh Kekristenan yang
terdaftar dalam kanon termasuk 27 Kitab Perjanjian Baru (dari Matius
sampai Wahyu).
Yang dikategorikan Antilegomena
ada tujuh kitab yang diperdebatkan baik dari segi keaslian penulisnya
maupun isinya. Yang dikategorikan Antilegomena berada dalam daftar
susunan Homologoumena al., Kitab Ibrani, Kitab Yakobus, 2 Petrus, 2
& 3 Yohanes, Yudas, Wahyu.
Yang dikategorikan sebagai Pseudoepigrapha
al.,Injil Thomas (Awal Abad II Ms), Injil Ebionit (Abad II Ms), Injil
Petrus (Abad II Ms), Proto Injil Yakobus (Akhir Abad II Ms), Injil
orang-orang Ibrani (Abad II Ms), Injil orang-orang Mesir (Abad II Ms),
Injil orang-orang Nazaren (Awal Abad II Ms), Injil Filipus (Abad II
Ms), Kitab Thomas Sang Atlit, Injil menurut Mathias, Injil Yudas,
Epistula Apostolorum (surat-surat rasuli), Apcryphon Yohanes, Injil
Kebenaran.
Yang dikategorikan Apocrypha
al., Surat Pseudo Barnabas (70-79 Ms), surat kepada orang-orang
Korintus (96 Ms), Surat ke-2 Klement, Homili kuno (120-140 Ms), Gembala
Hermas (115-140 Ms), Didache, Ajaran Rasul-rasul 12 (100-120 Ms),
Wahyu Petrus (150 Ms), Kisah Paulus & Thecla (170 Ms), Surat kepada
orang-orang Laodikea, Injil menurut orang-orang Ibrani (65-100 Ms),
Surat Polikrpus kepada orang-orang Efesus (108 Ms), Tujuh surat-surat
Ignatius (110 Ms).
James
L. Garlow dan Peter Jones memberikan ulasan mengenai ketidakmungkinan
pemusnahan kitab-kitab ekstrakanonik yang tidak mendukung keilahian
Yesus dan memasukkan kitab-kitab yang mendukung keilahian Yesus sebagai
kanonik, sbb: “Tidak ada bukti bahwa teks Injil awal dimasukkan
pada Abad ke-4. Berbagai salinan Injil-injil ini sudah ada pada abad
ke-2, meneguhkan teks-teks yang diterima di abad ke-4. Tidak mungkin
teks-teks itu diubah. Tidak seorangpun memiliki otoritas untuk
mengumpulkan dari seluruh penjuru kekaisaran, semua salinan (yang pada
abad ke-4 mungkin sudah berjumlah ratusan, mungkin ribuan) untuk
menciptakan perubahan yang dirasa perlu. Ini benar-benar fiksi. Lebih
dari itu, ini merupakan tuduhan murahan terhadap inti pesan Kristiani”[38].
Perlu
diketahui sekalipun Abad IV dimana konsili-konsili tersebut menetapkan
kanonisasi namun sejumlah tulisan dari Abad I dan II Ms sudah mengutip
kalimat-kalimat dalam kitab yang kelak dikanonkan pada Abad ke IV Ms.
Beberapa Bapa Gereja yang mengutip kitab-kitab Perjanjian Baru yang
kelak dikanonkan al.,
- Clement (95 Ms) mengutip Matius, Lukas, Roma, 1-2 Korintus, Ibrani, 1 Timotius, 1 Petrus
- Polycarpus (110) mengutip Filipi, sembilan surat Paulus, 1 Petrus
- Ignatius (110) mengutip Matius, 1 Petrus, 1 Yohanes, sembilan surat Paulus
- Papias (70-155) mengutip Yohanes, catatan tradisi mengenai asal usul Matius dan Markus
- Kitab Didake (80-120 Ms) mengutip Matius sebanyak 22 kutipan, Lukas, Yohanes, Kisah Rasul, Roma, 1-2 Tesalonika, 1 Petrus
- Tatiasn (160) mengutip Matius, Markus, Lukas, Yohanes dalam bentuk Diatesaron atau harmoni Injil dalam bahasa Aramaik
- Yustinus Martyr (140) mengutip 4 Injil, Kisah Rasul dan Wahyu
- Basilides (117-138) dan Marcion (140) sekalipun bidah yang membahayakan gereja dan kekristenan namun turut mengutip kitab-kitab Perjanjian Baru yang kelak akan dikanonkan seperti Matius, Lukas, Yohanes, Roma, 1-2 Korintus, Galatia, Efesus, Filemon, Kolose, 1-2 Tesalonika, Filipi[39]
Bahkan dalam Dekrit Pseudo-Gelasius (Decretum Pseudo Gelasianum),
Paus Gelasius I (492-496) menyatakan daftar 60 kitab Apokrip dan tidak
ada satupun yang dibakar[40]. Bahkan penemuan naskah Gnostik di Nag
Hammadi yang kemudian diterjemahkan dan dipopulerkan oleh Elaine
Pagels[41] membuktikan bahwa naskah-naskah ekstrakanonik yang tidak
masuk kanon tidak ada yang dibakar. Demikian pula penemuan Gospel of Judas yang ditentang pada masa Irrenaeus dalam bukunya Against Haeresies sudah ditemukan dan dipublikasikan bahkan dalam bahasa Indonesia[42]
Apakah Kekristenan Merupakan Evolusi Paganisme Dalam Bingkai Agama?
“Saya
juga tidak menyatakan apakah ucapan Yesus itu benar ‘Helios’, ‘Eloi’
atau ‘Eli’. Tapi ingat Anggel, kekristenan dalam berbagai sejarah dan
ritual keagamaannya punya banyak kemiripan dengan ritual Osirian, agama
Mesir kuno. Bahkan bagi banyak ahli, kekristenan awal diyakini sebagai
gerakan pembaharuan ritus Osirian”
“Saya makin bingung. Bisa kau jelaskan?” Ya, saya ingin mendengar lebih jauh tentang kebenaran itu.
“Uraiannya akan sangat panjang. Satu saat akan saya paparkan kepadamu. Saya hanya menyebutkan beberapa contoh:
Pertama, Yesus dianggap anak Allah, ini sama dengan keyakinan Dionisius yang sudah ada berabad sebelum Yesus lahir;
Kedua, Yesus dilahirkan di kandang, ini sama seperti kisah Horus yang lahir di kuil-kandang Dewi Isis;
Ketiga, Yesus mengubah air menjadi anggur dalam perkawinan di Qana, ini sama seperti apa yang dilakukan Dionisius;
Keempat, Yesus membangkitkan orang dari kematian dan menyembuhkan si buta, ini sama seperti Aesculapius;
Kelima, Yesus diyakini bangkit dari kematian di makam batu, sama seperti Mithra;
Keenam,
Yesus mengadakan perjamuan terakhir dengan roti dan anggur dimana
sampai sekarang ritual ini masih tetap berjalan di gereja-gereja,
padahal ritual roti dan anggur merupakan simbolisasi penting dalam
tradisi Osirian dan juga hampir semua ritual pagan yang memuja Dewa
Yang Mati seperti halnya pemuja Dionisius dan Tammuz.
Ketujuh,
Yesus menyebut dirinya penggembala yang baik ini merinur peran Tammuz
yang berabad-abad sebelumnya telah dikenal sebagai Dewa Penggembala;
Kedelapan,
istilah ‘The Christ’ padahal kekristenan tertulis ‘Christos’, sering
tertukar dengan kata lain dalam bahasa Yunani, Chrestos yang berarti
baik hati atau lembut. Sejumlah manuskrip Injil berbahasa Yunani dari
masa awal malah menggunakan kata Chrestos di tempat yang seharusnya
ditulis dengan Chrestos. Orang-orang di masa itu sudah lazim mengenal
Chrestos sebagai salah satu julukan Isis. Sebuah inskripsi di Delos
bertuliskan Chreste Isis;
Kesembilan,
dalam Injil Yohanes 12:24, Yesus mengatakan, ‘Seandainya biji gandum
jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika dia mati
ia akan menghasilkan banyak buah’. Perumpamaan dan konsep ini jelas
berasal dari konsep ritual Osirian;
Kesepuluh,
dalam Injil Yohanes 14:2 Yesus mengatakan, ‘Di rumah bapakku banyak
tempat tinggal’. Ini benar-benar berasal dari Osiris dan disalin dari
Book of the Dead, Kitab Orang Mati Mesir kuno yang dipercaya disimpan
di kota kematian, Hamunaptra. Ini baru sebagian contoh;”
“Dan satu lagi Anggelina...”
“Satu
lagi, tentang salib. Ikon utama dalam kekristenan ini merupakan simbol
Osirian kuno. Bahkan Kristen Koptik di Mesir mengambil simbol Ankh,
salib Osiris dalam bentuk asli, sebagai simbol gerakannya. Simbol Ankh
juga akan bisa ditemukan di Museum Taman Prasasti. Masih banyak lagi
kesamaan konsep kekristenan dengan agama-agama pagan Mesir Kuno,
seperti dalam kebangkitan Yesus dari kematiannya, sosok Maria Magdalena
dan perantaranya bersama Yesus, ritus pembaptisan oleh Yohanes dan
sebagainya”[43]
Rizki
Ridyasmara adalah seorang Muslim yang concern menulis mengenai Yahudi
dan berbagai teori konspirasi yang dihubungkan dengan keberadaan
Freemasonry. Sebut saja beberapa bukunya al.,Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Singgapura: Basis Israel di Asia, Ketika Rupiah Jadi Peluru Zionis
yang semuanya diterbitkan oleh Pustaka Al Kautsar Group[44]. Dalam
setiap buku yang dituliskan baik dalam bentuk kajian sejarah maupun
novel tentu membawa agenda keagamaannya. Termasuk dalam novel The Jacatra Secret dipakai sarana untuk mendiskreditkan Kekristenan dan menghubungkannya dengan paganisme sebagai asal usulnya.
Tudingan
bahwa Kekristenan merupakan evolusi agama-agama kafir pernah digemakan
Prof. Ahmad Syalaby[45] dan beliau hanya mengutip pernyataan
sarjana-sarjana Kristen Liberal di Barat yang menyerang Kekristenan.
Novel The Jacatra Secret mengulangi kembali tudingan tersebut.
Sesungguhnya berbagai dugaan kesamaan-kesamaan tersebut tidaklah
signifikan dan tidak terbukti yang satu mengutip atau mencontoh yang
lain. Tidak pernah ada bukti material yang memberikan informasi bahwa
kisah-kisah dalam Injil (yang sebagiannya dibenarkan dalam Qur’an)
adalah hasil ciplakan dari agama-agama pagan.
Padahal
jika ditelusuri, justru beberapa perbedaan kisah diantara Qur’an dan
Taurat serta Injil dapat ditelusuri dalam sumber-sumber Apokripa dan
literatur Yudeo Christianity non kanonik sebagaimana dikatakan Abdiyah
Akbar al Haqq seraya mengutip buku C. Tisdal yang berjudul “The Source of the Qur’an” dan Arnold yang berjudul “Islam & Christianity” sbb: “Most
of this divergence material has paralels in the legendary, apocryphal
and extra canonical Judeo Christian sources that were available in
Arabia during the time of the prophet”[46] (Kebanyakan bahan-bahan
yang berbeda memiliki kesamaan dengan legenda, teks apokripa serta
sumber-sumber ekstra kanonik dari Yudeo Christian yang tersedia di
Arabia selama zaman nabi).
Beberapa contoh pararelisasi akan kami kutipkan dengan merujuk pada sumber-sumber literatur.
Kain dan Habil (Qabil dan Habil)
Geiger
mengambil kisah Kain dan Habil sebagai contoh tentang apa yang
dikritik Torrey mengenai gaya penceritaan Muhammad mengenai poin
penting yang hilang. Geiger menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan dalam
Quran (Qs 5:27) seluruhnya tidak masuk akal dan sulit dimengerti, kisah
tersebut hanya bisa dimengerti setelah membaca dari Mishna Sanhedrin
4.5. Pembunuhan Habil dalam Quran dicontek dari Bible, tapi percakapan
Kain dengan Habil sebelum Kain membunuhnya diambil dari Targum
Yerusalem, dikenal sebagai pseudo-Jonathan. Dalam Quran, setelah
pembunuhan itu Tuhan mengirim burung gagak yang mengorek-ngorek bumi utk
menunjukkan pada Kain bagaimana caranya menyembunyikan mayat Habil: Surah 5.27-32: Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Kabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayit saudaranya. Berkata Kabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayit saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Pernyataan
dalam huruf yang ditebalkan tidak ada hubungannya dengan kisah
tersebut. Pernyataan huruf tebal itu menjadi jelas jika kita membaca
Mishna Sanhedrin 4.5: Kita dapatkan bahwa dalam kasus Kain yang dibunuh saudaranya: darah dari kain menangis terdengar oleh Habil. Disini tidak dikatakan darah dalam bentuk tunggal tapi darah dalam bentuk jamak, yakni darah Kain dan darah dari calon keturunannya. Manusia diciptakan tunggal utk menunjukkan bahwa siapapun yang membunuh seorang manusia, bisa dianggap dia membunuh seluruh keturunan yang mungkin akan dihasilkannya, tapi bagi mereka yang memelihara kehidupan seseorang dianggap dia telah memelihara seluruh kehidupan dia beserta keturunannya.
Dalam
kisah Muhammad ada bagian yang hilang, tidak diceritakan, bagian
hilang ini menjadi bagian yang terpenting yang menjadi penghubung
antara dua bagian kisah dalam Quran tersebut, dimana tanpa bagian ini
kedua kisah itu menjadi terpisah dan tidak ada artinya.
Nuh
Sebagian
kisah Nuh dalam Quran jelas-jelas berasal dari Kitab Kejadian, tapi
karakter Nuh sendiri dicontek dari sumber-sumber Yahudi (Qs 7:59; Qs
10:71; Qs 22:42, dll). Percakapan Nuh dengan kaumnya ketika dia
membangun bahtera sama dengan yang kita baca dalam Sanhedrin 108; dan
baik Quran maupun kitab Yahudi menyatakan bahwa generasi banjir ini
dihukum dengan air bah mendidih (Rosh Hashanah 16.2 dan Sanhedrin 108;
Qs 23:27).
Sulaiman dan Sheba
Quran
menulis banyak kisah-kisah tentang Sulaiman, khususnya tentang
pertemuan dia dengan Ratu Sheba. Quran menyatakan kebijakan Sulaiman
dengan menyebut-nyebut kemampuannya bercakap-cakap dengan binatang; para
komentator Yahudi juga berpendapat sama. Dalam beberapa surah kita
baca angin atau roh-roh mematuhi dia dan setan, burung serta binatang
menjadi bagian dari pasukannya (Qs 21:81; Qs 27:17; Qs 34:12; Qs 38:
36-37). Dalam Targum Kedua, Kitab Ester, kita membaca, “setan dan
sejenisnya dan roh jahat tunduk padanya.” Muhammad menceritakan dongeng
betapa para setan membantunya membangun Kuil dan karena ditipu, mereka
terus melakukannya hingga ia mati (Qs 34:13-14).
Tujuh Orang Tidur (Seven Sleeper)
Legenda Seven Sleeper dari
Efesus muncul pada akhir abad ke-5 dan menyebar keseluruh Asia Barat
dan Eropa. Legenda ini disebut pertama kali dalam karya seorang uskup
Syria ‘James of Sarug’ (452- 521), lalu diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Gregory of Tours (540-590) menjadi ‘De Gloria Martyrum’
(1. i.c; 95). Gibbon menyatakan, “dongeng pupuler ini, yang mungkin
didengar Muhammad ketika dia naik onta menuju pasar-pasar Syria,
diperkenalkan sebagai Wahyu Ilahi didalam Quran.” (Qs 18:9-26). Kisah
Quran dimulai demikian: “Atau kamu mengira bahwa orangorang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” Menurut dongeng, beberapa anak muda Kristen kabur menuju sebuah gua di pegunungan utk menghindari hukuman dari Kaisar Decius. Para pengejarnya menemukan gua itu dan menutupnya. Tapi para pemuda ini secara mukjijat bisa selamat dan keluar dari gua itu 200 tahun kemudian. Para komentaror saling berselisih pendapat tentang arti dari ‘al-Raqim’ selama bertahun-tahun. Torrey[47] berpendapat bahwa nama aneh ini cuma kesalahan baca nama Decius belaka yang ditulis dalam bahasa Aramaic.
Kesamaan
Kisah Isa dan Maria dengan Kitab-kitab Apokrifa “The Gospel of the
Birth of Mary”, “The Gospel of Pseudo Matthew”, “The Arabic Gospel of
Infancy"
Dalam kitab The Gospel of Pseudo Matthew mengisahkan
berbagai mukjizat yang dilakukan oleh Yesus saat masih kecil khususnya
saat berbicara dengan ibunya meskipun masih bayi. Kisah ini sejajar
dengan Qs 19:22-26. Kitab The Gospel of the Birth of Mary memuat
kisah Maria putri Yoyakim dan Anna yang saat masih kecil dititipkan di
Bait Suci. Anehnya kisah ini muncul dalam Qs 3:35-37, 44.
Demikianlah
berbagai kisah khayalan dalam sumber-sumber ekstrakanonik justru
menjadi kisah otoritatif dalam Qur’an. Kesamaan signifikan ini tentu
saja menimbulkan dugaan bahwa kisah-kisah dalam Qur’an banyak
mengadopsi dari sumber-sumber di luar kitab Kanonik sehingga kerap
bertabrakan dengan kisah-kisah dalam Taurat dan Injil.
End Notes:
[1] Op.Cit., The Jacatra Secret, hal 175
[2] Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999, hal 5
[3] Memandang Yesus : Gambar Yesus Dalam Berbagai Budaya, Jakarta : BPK, 1990, hal 19
[4] Christianity: New Religion or Sect of Biblical Judaismm , Florida, Palm Beach Gardens: A Messenger Media Publication, p.119
[5] Teguh Hindarto, MTh. Yahshua, Yahudi, Yudaisme (www.messianic-indonesia.com dan www.gkmin.net)
[6] Dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 48 Tahun 1994, hal 16
[7] Dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 53, 1998, hal 72
[8] Ibid., hal 72-73
[9] Ibadah Harian Zaman Patristik, Bintang Fajar, 2000, hal 5
[10] Ibid., hal 26
[11] Ibid., hal 73
[12] Alkitab & Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hal 10-11
[13] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51
[14] Harry R. Boer, A Short History of the Early Church, Grand Rapids Michigan : William B. Eerdmans Publishing Company, 1986, p.105
[15] Messianic Judaism: Its History, Theology and Polity, Lewiston, New York: Edwin Mellen Press, 1982, p.13
[16] Op.Cit., A Short History of the Early Church, p. 143
[17] Ibid.,
[18] Op.Cit.,Christianity: New Religion or Sect Biblical Judaism?, p.194
[19] C.J. Coster, Come Out of Her My People, Institute for Scripture Research, 1998, p.12
[20] Ibid., hal 14
[21] Ibid.,
[22] Dunia Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas 1993, hal 126
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,18
[25] Ibid.,
[26] Ibid.,
[27] Jewish New Testament Commentary, JNTP, 1998, p.78. Bandingkan dengan kajian yang saya tulis dengan judul Perjamuan Malam Terakhir Dan Seder Pesakh Ibrani (teguhhindarto.blogspot.com)
[28] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51
[29] Ibid., hal 50
[30] Ted Peters, God as Trinity, Westminster, John Knox Press, 1993, p.35
[31] Mempertimbangkan Ulang Ajaran tentang Trinitas, TPK, 2001, hal 63
[32] Apologetika tentang Trinitas, BPK, 1972, hal 31
[33] The Trinity Doctrine (http://www.allvoices.com/contributed-news/7601560-the-trinity-doctrine)
[34] Bandingkan dengan kajian saya mengenai Keesaan Tuhan dalam Kekristenan dalam artikel, “Pemahaman Tentang Shema Sebagai Landasan Pendidikan dan Moral Kristiani” (teguhhindarto.blogspot.com)
[35] Ibid., hal 176-177
[36] Dan Brown, Da Vinci Code, Jakarta: Serambi 2004 hal 327
[37] Geisler, Normal L., and Nix, William E., A General Introduction to the Bible, Revised and Expanded, (Chicago, IL: Moody Press) 1986.
[38] Op.Cit, Cracking Da Vinci’s Code, hal 157
[39] Kajian lengkap mengenai latar belakang Kanon Kitab Suci dapat membaca F.F. Bruce, The Canon of Scripture,Illinois: Intervarsity Press 1988, p. 117-133 dan karya F.F. Bruce dalam terjemahan bahasa Indonesia, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia 1993, hal 17-24
[40] M.R. James, The Apocryphal New Testament (Being the Apocryphal Gospels, Acts, Epistles and Apocalypses, Oxford: The Clarendon Press 1955, p.23
[41] Elaine Pagels, The Gnostic Gospel, New York: Random House 1979, Beyond Belief: The Secret Gospel of Thomas, New York: Random House 2003, Adam, Eve, and the Serpent, Random House 1989, The Gnostic Paul: Gnostic Exegesis of the Pauline Letters, Harrisburg, PA: Trinity Press International 192
[42] Jakarta: Gramedia Pustaka Tama 2006
[43] Ibid., hal 178-180
[44] http://haroqi.multiply.com/journal/item/582
[45] Perbandingan Agama: Bahagian Agama Masehi, Jakarta: 1964
[46] Sharing Your Faith with a Muslim, Minneapolis: Bethany House Publishers, 1980, p.41
[47] Torrey, C.C. The Jewish Foundation of Islam 193, New York: p.46-47
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar